Pages

Senin, 13 Oktober 2014

CERPEN "MAWAR DIUJUNG SENJA"

 MAWAR DIUJUNG SENJA

Bumi berotasi, berevolusi, begitupun hidup sebuah kupu-kupu berotasi dari ulat renta, buruk rupa, menjadi makhluk Tuhan paling diteladani keteguhannya. Siluet jingga menebarkan senyumnya untukku, “Selamat malam” gumamku tersenyum pula menanggapi sapaan sang mentari yang berusaha mengatupkan matanya. Malam mulai merambat, iringi sunyi yang tenggelamkan beribu bunyi, hening, purnama penjarkan sinarnya bersama taburan bintang, cicak-cicak mulai berdecak menatap kawanan nyamuk terbang lihai menggoda. Dan aku pun tergoda, menatap hal-hal kecil seperti itu saja aku tergoda. Tiba-tiba, sebuah tangan merangkul pundakku. Sontak ku toleh, “Mak! kaget aku mak! Ono opo seh?”. Ibuku, menatapku kosong, pipinya tercoreng angus tungku masak. “Rungokno ta, Nduk!” titah ibuku, menarik tubuhku terduduk, “Ndeprok!”, begitu kata orang Jawa. “Itulah pecahan mozaik Tuhan untuk kita.” Ujar ibuku membijak. Sayup-sayup terdengar ritme nada bak orkestra ketipung dari kawanan kodok, bersatu padu bersama kawanan jangkrik yang berpadu suara. “Indah kan?” ucap ibuku sambil menyisir rambutku. Dengan jemarinya.”He’eh” sahutku sekenanya, tetap menikmati dendangan melodi alam. “Masuk nduk!” perintah ibuku, aku bergeming, ibuku melangkah masuk lewat celah pintu yang tak terbuka sempurna. “Masuk!” ucap ibuku lebih berintonasi tinggi, “Masuk nggak?! Tak jewer lho!” aku tetap bergeming, tetap menikmati orkestra alam, “Dicolong genderuwo loh!!” bentak ibuku sambil membanting pintu, “Nggak! Mak!! Aku ojo ditinggal!!.” sergahku berusaha membuka daun pintu yang dibanting ibuku dari dalam. “Emaaakk” rengekku, kian merinding saat semilir angin gunung turun dan ikut mampir di tengkukku. Dedaunan pun bergemerisik. “Hiiy.. Mak! Aku wedi!!.”
Matahari sayup-sayup mengintip di antara korden kamarku yang bolong-bolong, suara gemelontan di dapur terdengar iringi sapaan pagi, kulipat mukenaku, berjalan menuju gontai menuju dapur, “Mak” sapaku pada ibu yang bergelut dengan tungku masak, panik, serok, dan alat masak lainnya. Kulihat, ibuku hanya menatapku sekilas kemudian melanjutkan aktivitasnya lagi. “Emak, lapo?” tanyaku terheran-heran saat ibuku membalik lima panik di hadapannya, menggabungkan dua tutupnya jadi satu, membalik gentong dan memegang dua buah centong sayur. “Mak, emak gak popo ta?” tanyaku pada ibu sambil mengguncang-guncang pundaknya. “Ssstt!!” ibuku hanya memberi isyarat agar aku tetap berdiri di posisiku. “Dengarkan” ucap ibuku singkat. Ibuku mulai menyanyikan lagu Dara Manisku karya Chrisye, memainkan panci-pancinya, menabuhnya, bagai set drum dengan sang professional. “Hebat” decakku. Ibuku hanya tersenyum simpul. “Haahh.. Lega..” ucap ibuku sambil mengusap peluhnya. Fajar yang menyingsing telah meninggi hingga 45°. Sudah banyak lagu lama terlantun penuh irama dari ibu, “Emak hebat!” ucapku sambil bertepuk tangan sekenanya, tapi ibuku hanya menggeleng ringan sambil berlalu keluar rumah. Ku ikuti ibu dari belakang, mungkin saja kan ibuku menunjukkan kebolehannya lagi?. “Dinda!!” sebuah suara menggelegar menyeruakkan namaku, aku menoleh, sesosok tubuh besar kebapakan, berjalan cepat sedikit berlari menuju arahku, tapi sorot matanya… menatap ibuku!! “Dinda!” serunya lagi, ibuku diam tak menoleh pun melirik. Jilbabnya berkibar diterpa angin, begitupun jilbabku. Aku yang merasa dipanggil tapi tak dianggap hanya mampu terheran-heran. Pria itu berhenti tepat di depanku, di samping ibuku, hembusan nafasnya terdengar jelas. “Apa maumu?” ujar ibu.
Aku tak mampu mendefinisikan siapa pria itu, yang benar-benar kentara adalah nada tinggi ibu dan nada memelas pria itu. Atmosfer rumahku seakan berubah drastis, tak seperti hari-hariku biasanya, aku melangkah menuju dapur, panci-panci pasca orkestra ibu masih terbalik berjajar lima bersama gentong yang tak berdaya. “Emakku huebat ternyata..” gumamku sambil mengambil dua centong sayur yang digunakan ibuku sebagai stik drum, “Aku isok gak yo?” batinku sambil mengambil posisi, memainkan panci-panci yang tak berdaya itu sekenanya, mengikuti ketukan hati, dan aku mampu menjiwai, aku mampu hanyut dalam indahnya musis walau hanya dengan bokong panci tak berdaya. “Nduk!!” ibuku memekik, pias wajahnya menyiratkan kesedihan, berdiri di ambang pintu, kemudian jatuh terduduk. ” ojok nduk “… ojok..” pinta ibuku, airmatanya mengalir dihapus dengan kain jilbabnya. Di belakangnya, pria tadi tersenyum puas. “Aku tahu kau punya bakat itu Dinda, seperti Dinda ibumu”. “Tidak boleh! Anakku tidak boleh jadi seperti aku. Anakku tidak boleh memiliki nasib sepertiku!” tangis ibu makin membuncah. Aku beringsut menuju ibu, dan ibu lantas memelukku dengan erat. “Emak, onok opo mak?” bisikku polos, ibu menatapku lemah. “Emak nggak pengen kilangan pean nduk..” ucap ibu, “Lho, emange aku kate nang ndi mak?” ucapku lugu. Ibuku berdiri, “Nanti emak ceritani, emak mau ngomong sama om Pram” ujar ibuku sambil lalu, melirik om Pram dan memberi isyarat agar mengikuti ibu. Aku tanpa diaba-aba juga ikut mengikuti.
“Om Pram wes ngaleh” ibu memeluk pundakku, mengajakku masuk ke rumah kembali setelah sepuluh menit bercucuran peluh terpanggang sinar matahari. Terlalu banyak omong kosong dalam pesan dan kesan yang om Pram lontarkan, bahkan aku mulai muak. Untung om Pram keburu pulang. “Mak, aku diceritani.” ucapku singkat, menarik kursi dari bawah meja ruang tamu, sambil menatap lekat ibu yang berjalan kesana–kemari. “Mak.. emak..” panggilku. “Eh, sek nduk, iyo, iyo” ujar ibu, melangkah ke dapur kemudian menarik satu kursi plastik dan dihadapkannya padaku. “Ngene nduk” ibu duduk, memgatupkan matanya dan mengerutkan dahinya seakan berfikir keras, mengingat-ingat masa lalunya yang kelam, yang sempat dilupakan. “Cerita iku dimulai ketika emak seumuran sampean..” ibu mulai bercerita, matanya berkaca-kaca. “Nama panggung emak.. Dinda”
Riuh, Gelora Sepuluh November digemparkan oleh sorak-sorai penonton “Dinda!! Dinda!! Dinda!!”, Dinda-Zubaidi Wulandari- menaiki panggung dengan tegap dan mantap, walau di hati tersirat luka, Ia, naik ke atas panggung ini, tidak diketahui ibunya. Ia, naik ke atas panggung ini, diajak oleh Pram, yang dekat pun tak diketahui ibunya, dan yang paling parah, Ia naik ke panggung ini, tanpa direstui ibunya. “Okay my friends, Now is our time!!” teriak Dinda, lima panci dan satu gentong dilempar ke atas panggung, dengan lihai Dinda menangkap perkakas itu dan menatanya ke sentra panggung. Tepuk tangan membahana dari seantero gelpra, si raut muka ia tertawa, tapi di dalan hatinya, bagai dicabik rasa durhaka. “One, two, three, four!!” hentak Dinda, atraksinya dimulai, panci-panci itu ditabuh dengan begitu gemulai, Pram ikut masuk panggung sambil menenteng gitar. Ia petik gitar itu mengiringi degup musik tabuh Dinda, penonton makin bersorak-sorai, dalam–dalam Dinda memejamkan mata. Konser itu usai, menit-menit kemudian, Dinda sudah berada dalam mobil yang mengantarkannya kembali ke desa. Langit cerah, awan cirrus tinggi bagai kapas yang tercabik-cabik, bergerak halus hampir-hampir tak terlihat. Langit biru cerah, dengan indah, Pram memetik senar gitarnya, bersenandung kecil di samping Dinda. “Apa yang ku berikan untuk mama.. untuk mama.. ter..” Plakk!! tangan Dinda melayang di pipi Pram, “Jangan dendangkan lagu itu Pram!” hentak Dinda kemudian terisak, Pram mengusap pipinya yang memerah, menatap Dinda lekat-lekat, “Ma’af.”decaknya, Dinda tetap terisak. Mobil masuk ke dusun Dinda, satu belokan lagi rumah Dinda sudah di depan mata, di luar jendela mobil, tetangga Dinda yang lalu-lalang berkasak-kusuk sambil menatap lekat mobil yang melaju. “Ada apa ya?” Tanya Dinda diam-diam pada dirinya sendiri. Mobil berhenti tepat di depan halaman rumah Dinda, suasana rumah ramai penuh tetangga, lekas, Dinda turun dari mobil dan berlari, terdengar, alunan surah Yaasin menggema, “Ada apa mbok?” tanyaku pada mbok Mi, pembantu kesayangan ibu, tapi mbok Mi hanya diam, menyiratkan kekecewaan, “Neng, ndoro putri meninggal” ucapnya datar, Dinda jatuh tertunduk, airmata tak kuasa menyeruak, silih berganti menetes. Hening. Hati tak kuasa menahan, “Kenapa mbok? kenapa?” Tanya Dinda tergesa, mbok Mi memalingkan wajahnya. “Ndoro putri meninggal kepikiran njenengan, beliau terkena serangan jantung karena kaget melihat njenengan maen teng tv, urakan” jelas mbok Mi pada Dinda, Dinda tertegun, jantungnya berdegup kencang, ibunya meninggal karena dirinya, nama keluarga tercemar karena dirinya, ibunya, malu akan dirinya, tanpa ba-bi-bu, Dinda beranjak, menyeka airmatanya, sedikit berlari tinggalkan rumahnya, belum sempat menatap raut wajah ibunya untuk terakhir kalinya. Ia merasa sangat durhaka. Dinda berjalan tak tahu kemana, matanya sembab, kakinya gontai, sang surya telah menjingga. Maghrib sudah. “Ibu…” isak Dinda lagi, duduk di atas ubin rumah yang gelap gulita dalamnya. sayup-sayup terdengar tangisan wanita dan bayi dalam rumah. “Apa itu tadi?” tanyaku sendiri, angin pun tak menjawab. Tanpa ba-bi-bu aku masuk, gelap, tak ada sedikitpun cahaya masuk meremang. “Siapa itu?” ucap wanita yang entah dimana wujudnya, lirih, menyiratkan ia sangat tersiksa. “Aku disini, di pojok.. tolong.. tolong aku” ucapnya terbata, kusuri tembok rumah yang agak terkelupas, dingin, keras, tepat di bawah kakiku, sang bayi menggeliat. Merengek-rengek, “Kamu kenapa?” ucapku padanya, ku angkat bayinya, tali ari masih menyambungkan pusar sang bayi dengan sang ibu. “Aku titip bayiku, aku.. aku..” kalimatnya terputus, begitupun nafasnya, seakan ikatan batin beradu, sang bayi ikut menangis.
“Jadi aku guduk anak’e emak?” tanyaku pada ibu, hatiku ketar-ketir, betapa tragisnya cerita ibu. “Sepurane nak, baru iso cerito saik. Emak golek waktu seng tepak gak onok-onok” ucap ibuku sambil menitikan airmata, aku pun memeluknya, mendekap penuh cinta, saat ini, ibuku yang paling butuh pelipur lara. “Saiki sampean oleh melok lomba iku.” ucap ibuku, airmatanya ia seka sekenanya. “Sumpah mak?!” girangku, ibuku hanya mengangguk. “Mak, aku wedi” ucapku, di depanku berdiri ratusan orang seumuran emakku, “Iki mek titik mah..” enteng ibuku, “Tapi aku kan pertama kali mak,” belaku, “Tak rewangi nak” ucap ibuku. “Hey, guys..! Be happy together!!” hentak ibuku, penonton bersorak-sorai. “Dinda!! Dinda!! Dinda!!” “Oh, no! we are DiDi!! Dinda and Dinda!!” aku pun tak mau kalah, ibuku tersenyum, dan kami bermain bersama di atas panggun, aku tak dapat menemukan dimana om Pram berada. Aku meoleh ke arah ibu, menanyakan dimana om Pram tanpa bersuara. Ibuku hanya mengangkat bahu.
Konser berakhir, makin lama, lapangan konser itu semakin sepi, tapi om Pram belum terlihat jua. Tiba-tiba seluruh lampu padam. “Maaakk!!” aku berteriak, ibuku mendekapku erat. Aku memejamkan mata rapat-rapat. “Heh, nduk! Buka’en mripatmu!” ucap ibuku agak keras. “Ono opo mak??” ucapku penasaran, tapi mataku tetap ku tutup rapat. “Ageh talah, cepetan!” sentak ibuku. Aku membuka mata, ternyata, on Pram ada di pojok lapangan, membawa rangkaian bunga mawar dengan khidmatnya. Pakaian tuxedo putih begitu indahnya. Ia berjalan dengan lampu sorot yang mengikuti setiap langkahnya. Piano di atas panggung berdenting dengan indah. Om Pram berdiri tepat di depan aku dan ibu, kemudian ia terduduk secara khidmat bagai pangeran di negeri-negeri dongeng. “Dinda, Will you marry me?” ucap om Pram sambil menyerahkan rangkaian bunga itu pada ibu, dan ibu, menangis tersedu. Om Pram berdiri kembali kemudian memeluk ibu, “Ma’af Dinda… Aku baru bisa menemukanmu.. Ma’af.. Aku baru bisa memenuhi janjiku padamu..” ucap om Pram lirih di telingan kanan ibu. “Yo ngunu mak, aku kacang’ono.” ucapku sedikit menyindir ibuku. Sudah lima menit lebih dua orang di sampingku ini berkasih-kasih. “Hehehe.. Iyo iyo nak! Ngko sampean onok waktune dewe!” ucap ibuku sambil menjitak kepalaku. “Adoohh.. ayo moleh mak!” ucapku sambil menggoncang-goncang tubuh ibuku. Kami pun tertawa bersama.
TAMAT

0 komentar:

Posting Komentar