MAWAR DIUJUNG SENJA
Bumi berotasi, berevolusi, begitupun hidup sebuah kupu-kupu berotasi
dari ulat renta, buruk rupa, menjadi makhluk Tuhan paling diteladani
keteguhannya. Siluet jingga menebarkan senyumnya untukku, “Selamat
malam” gumamku tersenyum pula menanggapi sapaan sang mentari yang
berusaha mengatupkan matanya. Malam mulai merambat, iringi sunyi yang
tenggelamkan beribu bunyi, hening, purnama penjarkan sinarnya bersama
taburan bintang, cicak-cicak mulai berdecak menatap kawanan nyamuk
terbang lihai menggoda. Dan aku pun tergoda, menatap hal-hal kecil
seperti itu saja aku tergoda. Tiba-tiba, sebuah tangan merangkul
pundakku. Sontak ku toleh, “Mak! kaget aku mak! Ono opo seh?”. Ibuku,
menatapku kosong, pipinya tercoreng angus tungku masak. “Rungokno ta,
Nduk!” titah ibuku, menarik tubuhku terduduk, “Ndeprok!”, begitu kata
orang Jawa. “Itulah pecahan mozaik Tuhan untuk kita.” Ujar ibuku
membijak. Sayup-sayup terdengar ritme nada bak orkestra ketipung dari
kawanan kodok, bersatu padu bersama kawanan jangkrik yang berpadu suara.
“Indah kan?” ucap ibuku sambil menyisir rambutku. Dengan
jemarinya.”He’eh” sahutku sekenanya, tetap menikmati dendangan melodi
alam. “Masuk nduk!” perintah ibuku, aku bergeming, ibuku melangkah masuk
lewat celah pintu yang tak terbuka sempurna. “Masuk!” ucap ibuku lebih
berintonasi tinggi, “Masuk nggak?! Tak jewer lho!” aku tetap bergeming,
tetap menikmati orkestra alam, “Dicolong genderuwo loh!!” bentak ibuku
sambil membanting pintu, “Nggak! Mak!! Aku ojo ditinggal!!.” sergahku
berusaha membuka daun pintu yang dibanting ibuku dari dalam. “Emaaakk”
rengekku, kian merinding saat semilir angin gunung turun dan ikut mampir
di tengkukku. Dedaunan pun bergemerisik. “Hiiy.. Mak! Aku wedi!!.”
Matahari sayup-sayup mengintip di antara korden kamarku yang
bolong-bolong, suara gemelontan di dapur terdengar iringi sapaan pagi,
kulipat mukenaku, berjalan menuju gontai menuju dapur, “Mak” sapaku pada
ibu yang bergelut dengan tungku masak, panik, serok, dan alat masak
lainnya. Kulihat, ibuku hanya menatapku sekilas kemudian melanjutkan
aktivitasnya lagi. “Emak, lapo?” tanyaku terheran-heran saat ibuku
membalik lima panik di hadapannya, menggabungkan dua tutupnya jadi satu,
membalik gentong dan memegang dua buah centong sayur. “Mak, emak gak
popo ta?” tanyaku pada ibu sambil mengguncang-guncang pundaknya.
“Ssstt!!” ibuku hanya memberi isyarat agar aku tetap berdiri di
posisiku. “Dengarkan” ucap ibuku singkat. Ibuku mulai menyanyikan lagu
Dara Manisku karya Chrisye, memainkan panci-pancinya, menabuhnya, bagai
set drum dengan sang professional. “Hebat” decakku. Ibuku hanya
tersenyum simpul. “Haahh.. Lega..” ucap ibuku sambil mengusap peluhnya.
Fajar yang menyingsing telah meninggi hingga 45°. Sudah banyak lagu lama
terlantun penuh irama dari ibu, “Emak hebat!” ucapku sambil bertepuk
tangan sekenanya, tapi ibuku hanya menggeleng ringan sambil berlalu
keluar rumah. Ku ikuti ibu dari belakang, mungkin saja kan ibuku
menunjukkan kebolehannya lagi?. “Dinda!!” sebuah suara menggelegar
menyeruakkan namaku, aku menoleh, sesosok tubuh besar kebapakan,
berjalan cepat sedikit berlari menuju arahku, tapi sorot matanya…
menatap ibuku!! “Dinda!” serunya lagi, ibuku diam tak menoleh pun
melirik. Jilbabnya berkibar diterpa angin, begitupun jilbabku. Aku yang
merasa dipanggil tapi tak dianggap hanya mampu terheran-heran. Pria itu
berhenti tepat di depanku, di samping ibuku, hembusan nafasnya terdengar
jelas. “Apa maumu?” ujar ibu.
Aku tak mampu mendefinisikan siapa pria itu, yang benar-benar kentara
adalah nada tinggi ibu dan nada memelas pria itu. Atmosfer rumahku
seakan berubah drastis, tak seperti hari-hariku biasanya, aku melangkah
menuju dapur, panci-panci pasca orkestra ibu masih terbalik berjajar
lima bersama gentong yang tak berdaya. “Emakku huebat ternyata..”
gumamku sambil mengambil dua centong sayur yang digunakan ibuku sebagai
stik drum, “Aku isok gak yo?” batinku sambil mengambil posisi, memainkan
panci-panci yang tak berdaya itu sekenanya, mengikuti ketukan hati, dan
aku mampu menjiwai, aku mampu hanyut dalam indahnya musis walau hanya
dengan bokong panci tak berdaya. “Nduk!!” ibuku memekik, pias wajahnya
menyiratkan kesedihan, berdiri di ambang pintu, kemudian jatuh terduduk.
” ojok nduk “… ojok..” pinta ibuku, airmatanya mengalir dihapus dengan
kain jilbabnya. Di belakangnya, pria tadi tersenyum puas. “Aku tahu kau
punya bakat itu Dinda, seperti Dinda ibumu”. “Tidak boleh! Anakku tidak
boleh jadi seperti aku. Anakku tidak boleh memiliki nasib sepertiku!”
tangis ibu makin membuncah. Aku beringsut menuju ibu, dan ibu lantas
memelukku dengan erat. “Emak, onok opo mak?” bisikku polos, ibu
menatapku lemah. “Emak nggak pengen kilangan pean nduk..” ucap ibu,
“Lho, emange aku kate nang ndi mak?” ucapku lugu. Ibuku berdiri, “Nanti
emak ceritani, emak mau ngomong sama om Pram” ujar ibuku sambil lalu,
melirik om Pram dan memberi isyarat agar mengikuti ibu. Aku tanpa
diaba-aba juga ikut mengikuti.
“Om Pram wes ngaleh” ibu memeluk pundakku, mengajakku masuk ke rumah
kembali setelah sepuluh menit bercucuran peluh terpanggang sinar
matahari. Terlalu banyak omong kosong dalam pesan dan kesan yang om Pram
lontarkan, bahkan aku mulai muak. Untung om Pram keburu pulang. “Mak,
aku diceritani.” ucapku singkat, menarik kursi dari bawah meja ruang
tamu, sambil menatap lekat ibu yang berjalan kesana–kemari. “Mak..
emak..” panggilku. “Eh, sek nduk, iyo, iyo” ujar ibu, melangkah ke dapur
kemudian menarik satu kursi plastik dan dihadapkannya padaku. “Ngene
nduk” ibu duduk, memgatupkan matanya dan mengerutkan dahinya seakan
berfikir keras, mengingat-ingat masa lalunya yang kelam, yang sempat
dilupakan. “Cerita iku dimulai ketika emak seumuran sampean..” ibu mulai
bercerita, matanya berkaca-kaca. “Nama panggung emak.. Dinda”
—
Riuh, Gelora Sepuluh November digemparkan oleh sorak-sorai penonton
“Dinda!! Dinda!! Dinda!!”, Dinda-Zubaidi Wulandari- menaiki panggung
dengan tegap dan mantap, walau di hati tersirat luka, Ia, naik ke atas
panggung ini, tidak diketahui ibunya. Ia, naik ke atas panggung ini,
diajak oleh Pram, yang dekat pun tak diketahui ibunya, dan yang paling
parah, Ia naik ke panggung ini, tanpa direstui ibunya. “Okay my friends,
Now is our time!!” teriak Dinda, lima panci dan satu gentong dilempar
ke atas panggung, dengan lihai Dinda menangkap perkakas itu dan
menatanya ke sentra panggung. Tepuk tangan membahana dari seantero
gelpra, si raut muka ia tertawa, tapi di dalan hatinya, bagai dicabik
rasa durhaka. “One, two, three, four!!” hentak Dinda, atraksinya
dimulai, panci-panci itu ditabuh dengan begitu gemulai, Pram ikut masuk
panggung sambil menenteng gitar. Ia petik gitar itu mengiringi degup
musik tabuh Dinda, penonton makin bersorak-sorai, dalam–dalam Dinda
memejamkan mata. Konser itu usai, menit-menit kemudian, Dinda sudah
berada dalam mobil yang mengantarkannya kembali ke desa. Langit cerah,
awan cirrus tinggi bagai kapas yang tercabik-cabik, bergerak halus
hampir-hampir tak terlihat. Langit biru cerah, dengan indah, Pram
memetik senar gitarnya, bersenandung kecil di samping Dinda. “Apa yang
ku berikan untuk mama.. untuk mama.. ter..” Plakk!! tangan Dinda
melayang di pipi Pram, “Jangan dendangkan lagu itu Pram!” hentak Dinda
kemudian terisak, Pram mengusap pipinya yang memerah, menatap Dinda
lekat-lekat, “Ma’af.”decaknya, Dinda tetap terisak. Mobil masuk ke dusun
Dinda, satu belokan lagi rumah Dinda sudah di depan mata, di luar
jendela mobil, tetangga Dinda yang lalu-lalang berkasak-kusuk sambil
menatap lekat mobil yang melaju. “Ada apa ya?” Tanya Dinda diam-diam
pada dirinya sendiri. Mobil berhenti tepat di depan halaman rumah Dinda,
suasana rumah ramai penuh tetangga, lekas, Dinda turun dari mobil dan
berlari, terdengar, alunan surah Yaasin menggema, “Ada apa mbok?”
tanyaku pada mbok Mi, pembantu kesayangan ibu, tapi mbok Mi hanya diam,
menyiratkan kekecewaan, “Neng, ndoro putri meninggal” ucapnya datar,
Dinda jatuh tertunduk, airmata tak kuasa menyeruak, silih berganti
menetes. Hening. Hati tak kuasa menahan, “Kenapa mbok? kenapa?” Tanya
Dinda tergesa, mbok Mi memalingkan wajahnya. “Ndoro putri meninggal
kepikiran njenengan, beliau terkena serangan jantung karena kaget
melihat njenengan maen teng tv, urakan” jelas mbok Mi pada Dinda, Dinda
tertegun, jantungnya berdegup kencang, ibunya meninggal karena dirinya,
nama keluarga tercemar karena dirinya, ibunya, malu akan dirinya, tanpa
ba-bi-bu, Dinda beranjak, menyeka airmatanya, sedikit berlari tinggalkan
rumahnya, belum sempat menatap raut wajah ibunya untuk terakhir
kalinya. Ia merasa sangat durhaka. Dinda berjalan tak tahu kemana,
matanya sembab, kakinya gontai, sang surya telah menjingga. Maghrib
sudah. “Ibu…” isak Dinda lagi, duduk di atas ubin rumah yang gelap
gulita dalamnya. sayup-sayup terdengar tangisan wanita dan bayi dalam
rumah. “Apa itu tadi?” tanyaku sendiri, angin pun tak menjawab. Tanpa
ba-bi-bu aku masuk, gelap, tak ada sedikitpun cahaya masuk meremang.
“Siapa itu?” ucap wanita yang entah dimana wujudnya, lirih, menyiratkan
ia sangat tersiksa. “Aku disini, di pojok.. tolong.. tolong aku” ucapnya
terbata, kusuri tembok rumah yang agak terkelupas, dingin, keras, tepat
di bawah kakiku, sang bayi menggeliat. Merengek-rengek, “Kamu kenapa?”
ucapku padanya, ku angkat bayinya, tali ari masih menyambungkan pusar
sang bayi dengan sang ibu. “Aku titip bayiku, aku.. aku..” kalimatnya
terputus, begitupun nafasnya, seakan ikatan batin beradu, sang bayi ikut
menangis.
—
“Jadi aku guduk anak’e emak?” tanyaku pada ibu, hatiku ketar-ketir,
betapa tragisnya cerita ibu. “Sepurane nak, baru iso cerito saik. Emak
golek waktu seng tepak gak onok-onok” ucap ibuku sambil menitikan
airmata, aku pun memeluknya, mendekap penuh cinta, saat ini, ibuku yang
paling butuh pelipur lara. “Saiki sampean oleh melok lomba iku.” ucap
ibuku, airmatanya ia seka sekenanya. “Sumpah mak?!” girangku, ibuku
hanya mengangguk. “Mak, aku wedi” ucapku, di depanku berdiri ratusan
orang seumuran emakku, “Iki mek titik mah..” enteng ibuku, “Tapi aku kan
pertama kali mak,” belaku, “Tak rewangi nak” ucap ibuku. “Hey, guys..!
Be happy together!!” hentak ibuku, penonton bersorak-sorai. “Dinda!!
Dinda!! Dinda!!” “Oh, no! we are DiDi!! Dinda and Dinda!!” aku pun tak
mau kalah, ibuku tersenyum, dan kami bermain bersama di atas panggun,
aku tak dapat menemukan dimana om Pram berada. Aku meoleh ke arah ibu,
menanyakan dimana om Pram tanpa bersuara. Ibuku hanya mengangkat bahu.
Konser berakhir, makin lama, lapangan konser itu semakin sepi, tapi
om Pram belum terlihat jua. Tiba-tiba seluruh lampu padam. “Maaakk!!”
aku berteriak, ibuku mendekapku erat. Aku memejamkan mata rapat-rapat.
“Heh, nduk! Buka’en mripatmu!” ucap ibuku agak keras. “Ono opo mak??”
ucapku penasaran, tapi mataku tetap ku tutup rapat. “Ageh talah,
cepetan!” sentak ibuku. Aku membuka mata, ternyata, on Pram ada di pojok
lapangan, membawa rangkaian bunga mawar dengan khidmatnya. Pakaian
tuxedo putih begitu indahnya. Ia berjalan dengan lampu sorot yang
mengikuti setiap langkahnya. Piano di atas panggung berdenting dengan
indah. Om Pram berdiri tepat di depan aku dan ibu, kemudian ia terduduk
secara khidmat bagai pangeran di negeri-negeri dongeng. “Dinda, Will you
marry me?” ucap om Pram sambil menyerahkan rangkaian bunga itu pada
ibu, dan ibu, menangis tersedu. Om Pram berdiri kembali kemudian memeluk
ibu, “Ma’af Dinda… Aku baru bisa menemukanmu.. Ma’af.. Aku baru bisa
memenuhi janjiku padamu..” ucap om Pram lirih di telingan kanan ibu. “Yo
ngunu mak, aku kacang’ono.” ucapku sedikit menyindir ibuku. Sudah lima
menit lebih dua orang di sampingku ini berkasih-kasih. “Hehehe.. Iyo iyo
nak! Ngko sampean onok waktune dewe!” ucap ibuku sambil menjitak
kepalaku. “Adoohh.. ayo moleh mak!” ucapku sambil menggoncang-goncang
tubuh ibuku. Kami pun tertawa bersama.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar