JARAK PERTAMA
Apa yang kupikir lagi? Semua telah benar-benar jauh dari gapaian.
Walau menangis tiada guna, masih saja melakukannya. Seperti orang tolol
meradang disini. Mengunci diri berhari hari tanpa sesuap nasi. Bahkan
seteguk air pun tidak.
Senin, 18 November 2013…
“Kamu nggak sekolah?”, ujar Ady, pacarku. Dia terlihat kaget melihatku ada di depan rumahnya. Terasa kurang sopan memang seorang perempuan mendatangi rumah laki-laki. Waktu itu aku berani karena sebelumnya aku tahu bahwa dia sedang sendiri di rumah, orangtuanya sibuk.
“Nggak, aku kangen kamu. Kamu gak suka ya aku ke sini?”, jawabku.
“Kamu nggak sekolah?”, ujar Ady, pacarku. Dia terlihat kaget melihatku ada di depan rumahnya. Terasa kurang sopan memang seorang perempuan mendatangi rumah laki-laki. Waktu itu aku berani karena sebelumnya aku tahu bahwa dia sedang sendiri di rumah, orangtuanya sibuk.
“Nggak, aku kangen kamu. Kamu gak suka ya aku ke sini?”, jawabku.
Ady tersenyum, dia mengangkat daguku yang tertunduk. Lalu memegang
pipiku dengan lembut. “Kamu boleh kangen aku Na, sangat boleh. Justru
kalo kamu gak kangen aku itu perlu dipertanyakan. Tapi kamu gak boleh
sampe ngorbanin sekolah kamu”, ucapnya hati-hati. Aku tahu dia sangat
takut melukai perasaanku, karena satu alasan.
Aku kembali tertunduk, badanku lemas. Dunia seperti terhenti
sepersekian detik. “Karena kamu gak pernah tahu rasanya Dy”, air mataku
spontan jatuh. Namun aku tetap tertunduk tak ingin Ady melihatnya. Tapi
isak tangis suaraku tak dapat kuelak lagi.
“Hey, kita pasti ketemu lagi. Gak selamanya aku disana Na, aku juga
punya keluarga disini. Dan aku punya kamu Na, alasan terkuat untuk aku
cepat pulang”, Ady berkata sambil memegang kedua pundakku yang
membungkuk.
Kuberanikan diri menatap wajah Ady, dia terlihat tak sehancur aku.
“Kamu bisa ngomong gitu sekarang Dy karena apa? Karena kamu masih
disini. Lihat mereka Dy! Sudah berapa banyak yang kandas di tengah jalan
hanya karena jarak?. Aku gak mau Dy!”, ucapku lirih.
“Nanti setelah kamu disana, kamu sibuk. Kamu ketemu teman-teman mu
yang baru, kita jarang ketemu, sulit komunikasi, dan cewek-cewek di
lingkungan baru kamu yang lebih baik. Kamu bakal lupa sama aku. Setelah
kamu pulang dan semuanya akan benar-benar berbeda. Itu setelah kamu di
sana Dy!”, gumamku. Semua benar-benar tak tertahan.
“Tiana! Sampai kapan kamu gak percaya sama aku?. Sampai kapan kamu
hidup dengan ketakutan-ketakutan yang cuma bisa bikin kamu jatuh?. Gak
ada yang bisa terjaga kalo kamu gak sedikitpun percya Na!. Kamu lihat
teman-temanmu yang kandas di tengah jalan. Karena apa? Karena mereka gak
jaga percaya. Sampai salah satunya bosan karena gak ada lagi yang bisa
dipertahankan dengan kecurigaan. Kamu mau itu?”, Ady memuncak. Aku salah
terlalu mendesaknya. Ini semua hanya karena aku tak pernah melawan
jarak. Yang aku tahu, banyak mereka yang kalah melawan jarak.
Aku tak mampu berkata lagi. Hanya menangis kemudian terduduk di
hadapan Ady. Yang terdengar hanya isak tangisku yang semakin menjadi
jadi. Bahkan Ady pun sudah kehilangan kesabarannya untukku. Terlampau
bodoh membebani Ady dengan tingkahku.
“Na, aku minta maaf. Aku gak bermaksud ngebentak kamu Na. Aku sayang
sama kamu. Aku janji sama kamu, kita gak akan hilang komunikasi”, Ady
tiba-tiba melembut. Aku tahu dia tak pernah bisa benar-benar marah
padaku. Dia memelukku erat. Dan itu semakin membuat hatiku meraung.
Setelah itu Ady mengantarku pulang. Dan kau tahu? Ternyata itulah
terakhir kalinya aku melihat Ady sebelum dia pergi untuk melanjutkan
pendidikannya. Esok hari setelah hari itu, dia pergi tanpa pamit. Saat
itu mama memberiku surat beramplop pink dan setangkai mawar.
Tiana, mawarku yang tak berduri.
Jangan takut sayang, semua akan baik-baik saja seperti yang
kukatakan. Waktu kamu baca ini, jangan lagi mencariku di rumah. Karena
tak mungkin kamu temukan aku lagi disana. Aku sudah pergi ke Jakarta,
maaf tanpa pamit. Demi masa depan kita nantinya, semoga benar jodohku
lah denganmu. Sekali lagi maaf aku tak pamit, karena tak sanggup lagi
rasanya melihatmu tertekan menangisi jarak kita. Aku tahu sekarang
matamu basah lagi kan? Jangan tunjukkan itu saat aku pulang nanti.
Janji? Semakin jauh jarak kita, maka semakin tak mungkin bisa tak
menyayangimu lagi Na.
Salam jarak,
Ady yang akan segera pulang ;)
Begitulah, begitulah isi surat pertama yang Ady beri. Kini ku pandang
lirih surat itu. Kemudian aku tersadar, sampai kapan harus menutup diri
seperti ini. Justru tak ada yang lebih baik. Ady hanya ingin yang
terbaik untukku.
Meski aku tak pernah benar-benar percaya dengannya. Apa salahnya
mencoba? Aku jahat jika terus seperti ini. Menyiksa diriku sendiri.
Mengganggu Ady karena dia terus mengkhawatirkan keadaanku. Membuat mama
cemas bahkan menangis melihatku terus-terusan mengurung diri.
Tidak boleh! Ady tak pernah suka melihatku begini. Aku harus kembali
makan, kembali minum, kembali bicara, dan kembali sekolah. Ku hapus air
mataku. “Mah! Aku mau makan”, teriakku.
Cerpen Karangan: Elfatiana Lulu
Facebook: Elfatiana lulu
Hai, namaku Elfa Tiana. Biasa dipanggil Lulu. Aku tinggal di Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Aku bersekolah di SMA Negeri 1 Tanjungpinang. Aku duduk di kelas XI jurusan IPS. Aku cinta musik, dan pengangum masa lalu. Dulu pernah berjarak, namun kalah di tengah jalan. Kini sendiri menunggu cinta baru. Salam kenal ;)
Facebook: Elfatiana lulu
Hai, namaku Elfa Tiana. Biasa dipanggil Lulu. Aku tinggal di Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Aku bersekolah di SMA Negeri 1 Tanjungpinang. Aku duduk di kelas XI jurusan IPS. Aku cinta musik, dan pengangum masa lalu. Dulu pernah berjarak, namun kalah di tengah jalan. Kini sendiri menunggu cinta baru. Salam kenal ;)
0 komentar:
Posting Komentar