Pages

Senin, 13 Oktober 2014

CERPEN "KABUT PELANGI"

 KABUT PELANGI

“Juni… Ini ibu nak.. Ibu rindu ingin bertemu kamu….”
Sayup-sayup, kudengar suara itu. Suara yang acap kali datang merasuki, melebur dan menyesakkan dalam mimpiku. Aku terbangun tiba-tiba dari mimpiku. Aku menggosok mataku yang sepertinya masih melekat. Kupandangi sekelilingku. Masih pagi buta. Udara dingin menembus relung-relung jiwaku. Aku beranjak cepat dari alas tidurku yang terbuat dari kardus tua, ketika air dari atap emperan toko menetes tiba-tiba. Aku segera terkesiap sembari meraih karung berukuran cukup besar, yang telah berisi barang-barang bekas yang kuanggap sebagai penyambung hidupku, setiap hari.
Namaku Juni. Aku adalah seorang pemulung. Hari-hariku ku isi dengan bekerja, bekerja dan bekerja. Sebatang kara hidupku. Tak tahu asal-usulku. Hanyalah Mbok Sarmi yang kupunya sekarang. Profesinya sama sepertiku. Ia menemukanku 8 tahun silam ketika aku masih bayi. Usiaku cukup belia. Tapi aku tidak sekolah, kawan. Aku tidak bisa.
Aku berjalan, menggendong sekarung barang, menelusuri emperan-emperan toko yang masih sepi, dan menjauh dari sana. Jalanan tampak lengang. Hanya kubangan-kubangan air karena hujan tadi malam di bulan November ini. Mencoba membuka satu-persatu tempat sampah. Mencari-cari yang sedang kubutuhkan. Namun sayang, rasanya sampah sudah dibersihkan oleh petugas. Dan aku tidak mendapatkan bagian darinya. Aku tak mendapat apa-apa.
Kuputuskan untuk pergi menuju suatu tempat dan menunggu hari. Aku menyusuri jalanan yang lembek dan licin. Melewati dinginnya air sungai yang terlalu jernih. Tibalah aku di atas bukit nan megah. Aku duduk diam di atas sebuah batu legam yang dingin rasanya jika diduduki. Tepat di sisiku, sebuah phon rindang memancarkan kesejukan. Kuletakkan karungku yang berwarna kelabu, yang sudah kelaparan untuk diisi sesuatu lagi.
Aku menatap langit timur. Matahari nampaknya akan bangun meninggalkan tempat peraduannya dan menyapa tiap insan di dunia. Ku layangkan pandanganku sejauh 1 mil dari tempatku terduduk sekarang. Gedung-gedung bertingkat berdiri megah di sana. Kabut menyelimuti pandanganku. Aku menoleh ke arah tanaman kerdil di depanku. Embun terjatuh dari ujung salah satu daunnya dan menimpa sebuah batu yang telah cekung dan berlumut karena telah terkikis oleh tetesan ribuan air sekian lamanya.
Aku diam dan merenung. Merambah masa laluku. Angin menyapa lembut raut wajahku yang mulai muram. “Ayah… Ibu… Di mana kalian kini? Aku ingin bertemu…” Rindu yang begitu menusuk sukmaku. Aku bingung. Adakalanya, aku ingin menangis karena kerinduanku yang teramat sangat. Adakala dimana aku ingin marah, kenapa mereka tega mencampakkanku. Sendiri, tanpa dosa, di atas tumpukkan sampah. Yang bisa kulakukan hanyalah berdoa, “Tuhann, tolong.. untuk sekali saja, pertemukanlah aku dengan mereka.. Hanya satu pintaku, Tuhan…”
Air mata setia untuk mengalir. Deras di pipiku. Seorang anak yang hidup dalam kesendirian tanpa kedua orangtua, tanpa saudara kandung. Hidup terlalu berat untuk kujalani.
Perlahan, aku membuka mata. Tampak samar pandanganku karena masih dipenuhi bulir-bulir air mata yang hendak tumpah. Jauh di sana, kicauan burung terdengar samar-samar. Langit tampak pucat merah. Masih ada mendung di sana. Matahari tak bersinar secerah hari biasa. Kabut benar-benar berkuasa. Membenamkan rasa kesendirian. Hela nafasku semakin sesak.
Aku mengusap mataku, menghapus air mata di sana. Aku tahu.. waktu tidak ‘kan mungkin berjalan mundur, bahkan bila aku memohon. Tidak mungkin aku dapat menoleh ke masa laluku, dan mencari asal-usulku. Tidak. Tidak mungkin. Yang kini harus kulakukan bukanlah merenung. Merenungkan sesuatu yang mustahil. Aku harus kuat, aku harus tabah. Hidupku, harus berjalan dengan semestinya. Meski aku tak mengetahui kedua orangtuaku siapa dan di mana.
Pelan, aku bangkit dari batu yang telah lama kududuki, hingga rasanya tak sedingin awal. Sehangat perasaanku, yang perlahan mulai menerima kenyataan hidup. Aku meraih karungku di sana. Berdiri sejenak dan melihat sekeliling. Tidak ada yang berubah dari keadaan mereka. Aku sadar, “Sesuatu tidak mungkin dapat berubah, kecuali jika ada yang merubah keadaannya menjadi yang lain”, pikirku dalam hati.
Angin berhembus perlahan. Menjemputku kembali dan membisikkan kata-kata. Menemani langkahku selama aku berjalan. Kembali bekerja sebagai seorang pemulung, demi kehidupanku.
“Aku masih punya Mbok Sarmi. Aku tak perlu takut kesepian.”, tekadku dalam hati. Sambil berlalu dari bukit itu aku mengucap doa kepada Sang Illahi, “Tuhan, aku sungguh bersyukur atas segala anugerah-Mu. Aku bukanlah seorang anak yang kesepian, karena Engkau telah telah mengirimkan malaikat dalam kehidupanku yang menjadikanku tidak sendiri lagi, Mbok Sarmi. Terima kasih atas segalanya, Tuhan. Lindungilah kedua oarngtuaku selalu, kapan saja dan di mana saja, meski aku tak pernah menyapa dan membelainya. Kabulkanlah doaku Ya Allah.. Amin”
Aku menuruni bukit itu dan kurasakan mentari tampak bersinar cerah. Awan mendung memberikan jalan bagi sinarnya, untuk menghangatkan hati yang dingin. Dan menghibur hati yang sedang berduka, menyinggirkan laranya. Alam kini mulai tersenyum. Di ufuk timur, kulihat angkasa bercahaya. Menebar senyum kebahagiaan. Aku berlalu dari sana, dan tersenyum bahagia.
“Terima Kasih, Tuhan..”

0 komentar:

Posting Komentar