KABUT PELANGI
“Juni… Ini ibu nak.. Ibu rindu ingin bertemu kamu….”
Sayup-sayup, kudengar suara itu. Suara yang acap kali datang merasuki, melebur dan menyesakkan dalam mimpiku. Aku terbangun tiba-tiba dari mimpiku. Aku menggosok mataku yang sepertinya masih melekat. Kupandangi sekelilingku. Masih pagi buta. Udara dingin menembus relung-relung jiwaku. Aku beranjak cepat dari alas tidurku yang terbuat dari kardus tua, ketika air dari atap emperan toko menetes tiba-tiba. Aku segera terkesiap sembari meraih karung berukuran cukup besar, yang telah berisi barang-barang bekas yang kuanggap sebagai penyambung hidupku, setiap hari.
Sayup-sayup, kudengar suara itu. Suara yang acap kali datang merasuki, melebur dan menyesakkan dalam mimpiku. Aku terbangun tiba-tiba dari mimpiku. Aku menggosok mataku yang sepertinya masih melekat. Kupandangi sekelilingku. Masih pagi buta. Udara dingin menembus relung-relung jiwaku. Aku beranjak cepat dari alas tidurku yang terbuat dari kardus tua, ketika air dari atap emperan toko menetes tiba-tiba. Aku segera terkesiap sembari meraih karung berukuran cukup besar, yang telah berisi barang-barang bekas yang kuanggap sebagai penyambung hidupku, setiap hari.
Namaku Juni. Aku adalah seorang pemulung. Hari-hariku ku isi dengan
bekerja, bekerja dan bekerja. Sebatang kara hidupku. Tak tahu
asal-usulku. Hanyalah Mbok Sarmi yang kupunya sekarang. Profesinya sama
sepertiku. Ia menemukanku 8 tahun silam ketika aku masih bayi. Usiaku
cukup belia. Tapi aku tidak sekolah, kawan. Aku tidak bisa.
Aku berjalan, menggendong sekarung barang, menelusuri emperan-emperan
toko yang masih sepi, dan menjauh dari sana. Jalanan tampak lengang.
Hanya kubangan-kubangan air karena hujan tadi malam di bulan November
ini. Mencoba membuka satu-persatu tempat sampah. Mencari-cari yang
sedang kubutuhkan. Namun sayang, rasanya sampah sudah dibersihkan oleh
petugas. Dan aku tidak mendapatkan bagian darinya. Aku tak mendapat
apa-apa.
Kuputuskan untuk pergi menuju suatu tempat dan menunggu hari. Aku
menyusuri jalanan yang lembek dan licin. Melewati dinginnya air sungai
yang terlalu jernih. Tibalah aku di atas bukit nan megah. Aku duduk diam
di atas sebuah batu legam yang dingin rasanya jika diduduki. Tepat di
sisiku, sebuah phon rindang memancarkan kesejukan. Kuletakkan karungku
yang berwarna kelabu, yang sudah kelaparan untuk diisi sesuatu lagi.
Aku menatap langit timur. Matahari nampaknya akan bangun meninggalkan
tempat peraduannya dan menyapa tiap insan di dunia. Ku layangkan
pandanganku sejauh 1 mil dari tempatku terduduk sekarang. Gedung-gedung
bertingkat berdiri megah di sana. Kabut menyelimuti pandanganku. Aku
menoleh ke arah tanaman kerdil di depanku. Embun terjatuh dari ujung
salah satu daunnya dan menimpa sebuah batu yang telah cekung dan
berlumut karena telah terkikis oleh tetesan ribuan air sekian lamanya.
Aku diam dan merenung. Merambah masa laluku. Angin menyapa lembut
raut wajahku yang mulai muram. “Ayah… Ibu… Di mana kalian kini? Aku
ingin bertemu…” Rindu yang begitu menusuk sukmaku. Aku bingung.
Adakalanya, aku ingin menangis karena kerinduanku yang teramat sangat.
Adakala dimana aku ingin marah, kenapa mereka tega mencampakkanku.
Sendiri, tanpa dosa, di atas tumpukkan sampah. Yang bisa kulakukan
hanyalah berdoa, “Tuhann, tolong.. untuk sekali saja, pertemukanlah aku
dengan mereka.. Hanya satu pintaku, Tuhan…”
Air mata setia untuk mengalir. Deras di pipiku. Seorang anak yang hidup dalam kesendirian tanpa kedua orangtua, tanpa saudara kandung. Hidup terlalu berat untuk kujalani.
Air mata setia untuk mengalir. Deras di pipiku. Seorang anak yang hidup dalam kesendirian tanpa kedua orangtua, tanpa saudara kandung. Hidup terlalu berat untuk kujalani.
Perlahan, aku membuka mata. Tampak samar pandanganku karena masih
dipenuhi bulir-bulir air mata yang hendak tumpah. Jauh di sana, kicauan
burung terdengar samar-samar. Langit tampak pucat merah. Masih ada
mendung di sana. Matahari tak bersinar secerah hari biasa. Kabut
benar-benar berkuasa. Membenamkan rasa kesendirian. Hela nafasku semakin
sesak.
Aku mengusap mataku, menghapus air mata di sana. Aku tahu.. waktu
tidak ‘kan mungkin berjalan mundur, bahkan bila aku memohon. Tidak
mungkin aku dapat menoleh ke masa laluku, dan mencari asal-usulku.
Tidak. Tidak mungkin. Yang kini harus kulakukan bukanlah merenung.
Merenungkan sesuatu yang mustahil. Aku harus kuat, aku harus tabah.
Hidupku, harus berjalan dengan semestinya. Meski aku tak mengetahui
kedua orangtuaku siapa dan di mana.
Pelan, aku bangkit dari batu yang telah lama kududuki, hingga rasanya
tak sedingin awal. Sehangat perasaanku, yang perlahan mulai menerima
kenyataan hidup. Aku meraih karungku di sana. Berdiri sejenak dan
melihat sekeliling. Tidak ada yang berubah dari keadaan mereka. Aku
sadar, “Sesuatu tidak mungkin dapat berubah, kecuali jika ada yang
merubah keadaannya menjadi yang lain”, pikirku dalam hati.
Angin berhembus perlahan. Menjemputku kembali dan membisikkan
kata-kata. Menemani langkahku selama aku berjalan. Kembali bekerja
sebagai seorang pemulung, demi kehidupanku.
“Aku masih punya Mbok Sarmi. Aku tak perlu takut kesepian.”, tekadku dalam hati. Sambil berlalu dari bukit itu aku mengucap doa kepada Sang Illahi, “Tuhan, aku sungguh bersyukur atas segala anugerah-Mu. Aku bukanlah seorang anak yang kesepian, karena Engkau telah telah mengirimkan malaikat dalam kehidupanku yang menjadikanku tidak sendiri lagi, Mbok Sarmi. Terima kasih atas segalanya, Tuhan. Lindungilah kedua oarngtuaku selalu, kapan saja dan di mana saja, meski aku tak pernah menyapa dan membelainya. Kabulkanlah doaku Ya Allah.. Amin”
“Aku masih punya Mbok Sarmi. Aku tak perlu takut kesepian.”, tekadku dalam hati. Sambil berlalu dari bukit itu aku mengucap doa kepada Sang Illahi, “Tuhan, aku sungguh bersyukur atas segala anugerah-Mu. Aku bukanlah seorang anak yang kesepian, karena Engkau telah telah mengirimkan malaikat dalam kehidupanku yang menjadikanku tidak sendiri lagi, Mbok Sarmi. Terima kasih atas segalanya, Tuhan. Lindungilah kedua oarngtuaku selalu, kapan saja dan di mana saja, meski aku tak pernah menyapa dan membelainya. Kabulkanlah doaku Ya Allah.. Amin”
Aku menuruni bukit itu dan kurasakan mentari tampak bersinar cerah.
Awan mendung memberikan jalan bagi sinarnya, untuk menghangatkan hati
yang dingin. Dan menghibur hati yang sedang berduka, menyinggirkan
laranya. Alam kini mulai tersenyum. Di ufuk timur, kulihat angkasa
bercahaya. Menebar senyum kebahagiaan. Aku berlalu dari sana, dan
tersenyum bahagia.
“Terima Kasih, Tuhan..”
“Terima Kasih, Tuhan..”
0 komentar:
Posting Komentar