SETETES HARAPAN KAMPUNG PUSE
Pelangi itu sudah tidak seindah dulu, kini ia mulai sering merusak
hingga ulu hatiku. Perasaan ini terasa sesak saat aku ingat kembali raut
wajah dan tatapaan tajam matanya. Bagai simfoni membisu di suatu
keramaian, kini aku sendiri dalam sepi. Terkadang aku bertanya mengapa
kedudukan bintang jauh di atas bulan, padahal yang kutahu bintang
mengambil cahaya bulan. “Cahyanya sampai ke bintang, ambilkan bulan bu
untuk menerangi tidurku yang lelap di malam gelap” sebuah lagu pun tau
bahwa bulan si pemilik sumber cahaya, namun mengapa bintang bisa lebih
unggul dan menarik di mata orang lain? Entahlah aku pun mulai tidak
mampu memahami keadaan ini, aku semakin sulit mengerti atas apa yang aku
lakukan sekarang. Ini semua membuat kelabu pikiranku. Aku terus
mengikuti detak jarum jam yang terdengar di ruangan ini yang semakin
sunyi. Saat aku tersadar bahwa semuanya semakin menjauh, hatiku pun
semakin gelisah. Aku takut semuanya semakin menghilang, aku takut apa
yang aku lakukan selama ini tidak berguna sama sekali. Aku masih tidak
ingin ini berakhir begitu saja. Semuanya menjadi kacau, semrawut dan
hampir sirna.
Aku segera bangkit dari renunganku dan melihat keselilingku saat
ternyata aku sedang sendiri dalam sepi. Ruangan ini terasa semakin gelap
dan tidak bercahaya. Hampalah sudah kini, karena semuanya telah hancur
berantakan. Aku pernah merasa bangga saat aku sedang berada di puncak.
Dan mereka bilang aku adalah seorang bintang. Tapi tidak ada yang
istimewa jika aku hadir di siang hari bukan? Bintang hanya akan terlihat
menarik saat yang lain mulai meredup, saat yang lain menghilang
bintanglah paling terang, coba letakan aku di bawah sorot lampu
menderang, kalian bisa tau bahwa aku bukan siapa-siapa. semua ini
menjadi hujan air mata saat langkahku harus terhenti. Cukup, aku tidak
ingin melihat dan mengingatnya lagi. Terlalu buruk untuk aku ingat dan
hanya akan menimbulkan pedih yang luar biasa. Padahal yang kutahu kita
memiliki tujuan yang sama, hanya jalan sajalah yang berbeda.
“Des, negeri ini sedang mengalami musibah, coba kamu pikirkan soal
rencana kamu itu. Apa semuanya semudah apa yang kamu pikirin? Kamu tahu,
perhatian di negeri kita itu sangat minim. Lihat, apa ada yang perduli
sama kita? Jangankan untuk memberangkatkan kita pergi ke Jakarta.
Ratusan rumah ambruk ini saja belum diselesaikan” Ucapan yang sangat
mengharukan. Ya aku tahu jelas akan hal ini, tidak mungkin akan
berangkat dan melanjutkan ke tingkat nasional dengan keadaan seperti
ini. Tapi bagaimana dengan yang lainnya? Mereka jauh lebih keras
berjuang untuk perlombaan Nasional Grand Prix Marching Band ini. Ada
sebagian orang yang harus menempuh perjalan jauh untuk sampai di tempat
latihan. Ya allah mengapa engkau runtuhkan negeri ini saat mereka sedang
berusaha dengan impiannya. Sesulit inikah?
“Ambil keputusan yang bijak. Kamu pikirin semuanya Des!” Ucap Rayhan.
Aku melihat ke belakang dan aku menyaksikan wajah-wajah penuh kecewa.
Air mata sudah di ujung mataku, menetes dan membasahi pipiku. Aku
meneguk air liurku dan memeluk mereka.
“De, Kakak minta maaf yah. Kakak juga tidak ingin kita tidak melanjutkan perlombaannya sampai tingkat Nasional. Tapi di sisi lain juga kita harus bisa mengerti keadaan disini. Kalian tahu semua kan, kemarin kampung “Puse” terkena longsor. Pihak kabupaten pun dengan terpaksa mengehtikan semua kegiatan ini. Seluruh dana juga sudah terpakai untuk korban longsor.” Jelasku untuk menegaskan bahwa ada hal yang lebih penting dari ini. Karena Dana keberangkatan sangat membantu korban yang mengungsi di tempat pengungsian.
“De, Kakak minta maaf yah. Kakak juga tidak ingin kita tidak melanjutkan perlombaannya sampai tingkat Nasional. Tapi di sisi lain juga kita harus bisa mengerti keadaan disini. Kalian tahu semua kan, kemarin kampung “Puse” terkena longsor. Pihak kabupaten pun dengan terpaksa mengehtikan semua kegiatan ini. Seluruh dana juga sudah terpakai untuk korban longsor.” Jelasku untuk menegaskan bahwa ada hal yang lebih penting dari ini. Karena Dana keberangkatan sangat membantu korban yang mengungsi di tempat pengungsian.
“Iya kak, kita bisa memahami keadaan ini” Ucap Bunga sambil
tersenyum. Legalah sudah perasaanku saat aku melihat lagi senyum mereka.
Senyum yang aku sangat rindukan.
“Kak, ini kan belum berakhir bagaimana kalau kita hibur mereka. Walaupun tidak di gelora bung karno tapi kita bisa tampil disini juga kan. Itung-itung memberi hiburan untuk korban longsor” Ucap Sunny. Subhanallah aku tidak meyangka bahwa mereka masih bisa berpikiran positif di tengah kesulitan ini.
“Ya… ya ide bagus” Riuh anak-anak lainnya. Mereka berdiri sambil tersenyum gembira. Kini suasana semakin mencair dan membuat aku jauh lebih tenang. Aku menyetujuinya dan kita berunding bersama.
“Nanti pemain alatnya pakai baju apa?” pertanyaan seorang anak terhadapku.
“Bagaimana kalau warna Hitam saja?” kataku meminta pendapat.
“Kenapa harus hitam kak?” ucap sunny kembali
“kenapa ya? Kakak juga tidak tahu. Hanya saja Kakak pikir apapun yang kita lakukan dan lainnya itu berasal dari hitam dulu. Seperti emas yang tertimbun di dalam tanah. Atau berlian yang berada di mulut tiram. Mereka tidak akan indah jika tidak diproses” kataku menjelaskan semuanya.
“Oh begitu.. Ya… ya… ya aku setuju. Siapa lagi yang setuju?” Ucap Sunny bertanya pada yang lainnya.
“Aku… Akuu…” Riuh suara anak-anak.
“Kalau penari bendera pakai apa?” Ucap Bunga.
“Hm… apa ya… Kalau warna pink saja bagaimana? Semuanya kan perempuan, agar terlihat lebih cantik dan menarik.”
“Hahahahaha iya.. iya Kak”
“Kak, ini kan belum berakhir bagaimana kalau kita hibur mereka. Walaupun tidak di gelora bung karno tapi kita bisa tampil disini juga kan. Itung-itung memberi hiburan untuk korban longsor” Ucap Sunny. Subhanallah aku tidak meyangka bahwa mereka masih bisa berpikiran positif di tengah kesulitan ini.
“Ya… ya ide bagus” Riuh anak-anak lainnya. Mereka berdiri sambil tersenyum gembira. Kini suasana semakin mencair dan membuat aku jauh lebih tenang. Aku menyetujuinya dan kita berunding bersama.
“Nanti pemain alatnya pakai baju apa?” pertanyaan seorang anak terhadapku.
“Bagaimana kalau warna Hitam saja?” kataku meminta pendapat.
“Kenapa harus hitam kak?” ucap sunny kembali
“kenapa ya? Kakak juga tidak tahu. Hanya saja Kakak pikir apapun yang kita lakukan dan lainnya itu berasal dari hitam dulu. Seperti emas yang tertimbun di dalam tanah. Atau berlian yang berada di mulut tiram. Mereka tidak akan indah jika tidak diproses” kataku menjelaskan semuanya.
“Oh begitu.. Ya… ya… ya aku setuju. Siapa lagi yang setuju?” Ucap Sunny bertanya pada yang lainnya.
“Aku… Akuu…” Riuh suara anak-anak.
“Kalau penari bendera pakai apa?” Ucap Bunga.
“Hm… apa ya… Kalau warna pink saja bagaimana? Semuanya kan perempuan, agar terlihat lebih cantik dan menarik.”
“Hahahahaha iya.. iya Kak”
Kini semua beralih, latihan selama ini kami persembahkan untuk korban
bencana longsor di kampung kami. Sungguh ini hal yang tidak terduga dan
menyimpang dari rencana.
Anak-anak bersiap dan berada di barisannya masing masing. Walaupun
dengan kostum yang sederhana tapi semangat mereka menggelora. Mereka
siap saat field commender member ketukan. 1. 2. 3. 4
“Teeeeeeeeet” Suara keras trumpet memulainya. Hentakan bass drum, perkusi, bersama melodi trumpet, melophone, trombone, dan tuba didalamnya. Tak kalah dengan gadis-gadis cantik yang sedang meliuk-liukan badannya bersama bendera yang dia mainkan. Aku lihat ke sekelilingku yang lain pun ikut serta menyambut ini dengan antusias. Semua berhamburan keluar dari tenda dan menonton pertunjukan kami. Ini adalah kebahagiaan terbesarku untuk pertama kalinya. Tidak perduli dari mana sumber cahaya, tapi yang terpenting bagaimana kita bisa menarik mata sang pelihat dari jutaan kerlip cahaya yang ada. Bagi kami yang terpenting kami bisa mencuri perhatian mereka.
“Teeeeeeeeet” Suara keras trumpet memulainya. Hentakan bass drum, perkusi, bersama melodi trumpet, melophone, trombone, dan tuba didalamnya. Tak kalah dengan gadis-gadis cantik yang sedang meliuk-liukan badannya bersama bendera yang dia mainkan. Aku lihat ke sekelilingku yang lain pun ikut serta menyambut ini dengan antusias. Semua berhamburan keluar dari tenda dan menonton pertunjukan kami. Ini adalah kebahagiaan terbesarku untuk pertama kalinya. Tidak perduli dari mana sumber cahaya, tapi yang terpenting bagaimana kita bisa menarik mata sang pelihat dari jutaan kerlip cahaya yang ada. Bagi kami yang terpenting kami bisa mencuri perhatian mereka.
12 menit sudah aku menyaksikan anak didikku. Mereka sungguh luar
biasa. Tidak ada yang jauh lebih berharga dibandingkan kebersamaan
seperti ini. Tuhan, aku panjatkan syukur yang teramat dalam karena di
balik semua pedih ini masih ada rasa bahagia.
Pertunjukan berakhir dengan senyuman, walau kutahu ada rasa kecewa
dalam hati mereka namun mereka mencoba jauh lebih ikhlas. Tepuk tangan
yang keras terdengar dari segala arah, korban-korban di sini sangat
butuh hiburan, semoga saja ini mampu membuat mereka terhibur. Aku dan
yang lainnya bereuporia bersama. Kami semua berpelukan dengan tersenyum
bahagia.
“Tadi aku bagus tidak Kak narinya?” Tanya Bunga, Sunny dan penari bendera lainnya.
“bagus kok kalian tersenyum mempermanis pertunjukan. Pokoknya kalian semua bagus. Pemain trumpet, melophone, trombone, tuba, bass drum, snare, queen tom sampai bells. kalian bagus semua” Aaaaaaa selamat ya” Ucapku memeluk mereka.
“Alhamdulilah.” Kata anak-anak yang lainnya.
“Sini kalian minum dulu ya. Pasti sangat lelah?” aku membagikan minum ke setiap anak. Keringat yang bercucuran ini bukti kerja keras kalian.
Semua kecapean, ada yang bersender di tembok, ada yang tidur di paha temannya. Atau sekedar duduk sambil berkipas-kipas.
“bagus kok kalian tersenyum mempermanis pertunjukan. Pokoknya kalian semua bagus. Pemain trumpet, melophone, trombone, tuba, bass drum, snare, queen tom sampai bells. kalian bagus semua” Aaaaaaa selamat ya” Ucapku memeluk mereka.
“Alhamdulilah.” Kata anak-anak yang lainnya.
“Sini kalian minum dulu ya. Pasti sangat lelah?” aku membagikan minum ke setiap anak. Keringat yang bercucuran ini bukti kerja keras kalian.
Semua kecapean, ada yang bersender di tembok, ada yang tidur di paha temannya. Atau sekedar duduk sambil berkipas-kipas.
Suara ketukan pintu mengagetkan semuanya. Kulihat Rayhan datang dan langsung menarik tanganku dengan cepat.
“Ada apa sih Han?” Tanyaku keanehan.
Rehan memeluku dan membuatku semakin bingung.
“Cerita sih Han ada apa” Rehan tidak bercerita malah memelukku lebih erat lagi. Aku semakin bingung.
“Tadi pada saat anak-anak lagi tampil ada pihak perhubungan daerah melihat Marchingband kita tampil, dia bilang suka dan…” Terhenti lagi
“Dan apa Han?” ucapku penasaran.
“Dia ingin mengikutsertakan kita menuju GPMB di Jakarta. “
“Serius?” tanyaku dengan sangat kaget
“Iya… kostum, transport, penginapan sampai makan ditanggung oleh pihak perhubungan”
“Hahhh? seriussss?” Tanyaku lagi tidak percaya. Aku kaget mendengarnya dan langsung memeluk Rayhan sampai loncat-loncat kegirangan.
“Iya Des… selamattt”
“Subhanallah makasih banyak semuanya tuhan”
“Sekarang beliau ada di luar, kamu dipanggil untuk bertemu mereka.
“Ada apa sih Han?” Tanyaku keanehan.
Rehan memeluku dan membuatku semakin bingung.
“Cerita sih Han ada apa” Rehan tidak bercerita malah memelukku lebih erat lagi. Aku semakin bingung.
“Tadi pada saat anak-anak lagi tampil ada pihak perhubungan daerah melihat Marchingband kita tampil, dia bilang suka dan…” Terhenti lagi
“Dan apa Han?” ucapku penasaran.
“Dia ingin mengikutsertakan kita menuju GPMB di Jakarta. “
“Serius?” tanyaku dengan sangat kaget
“Iya… kostum, transport, penginapan sampai makan ditanggung oleh pihak perhubungan”
“Hahhh? seriussss?” Tanyaku lagi tidak percaya. Aku kaget mendengarnya dan langsung memeluk Rayhan sampai loncat-loncat kegirangan.
“Iya Des… selamattt”
“Subhanallah makasih banyak semuanya tuhan”
“Sekarang beliau ada di luar, kamu dipanggil untuk bertemu mereka.
Aku melangkahkan kakiku dengan perasaan deg-degan. Mendengar berita
ini seakan tidak percaya. Sungguh ini semua diluar dugaan. Kutarik nafas
panjangku dan mulai bersikap biasa saja. Tenang dan mencoba rileks.
“Siang pak” Ucapku kepada beliau sambil bersalaman.
“Desta?” Tanyanya melontarkan senyuman.
“Iya pak betul sekali”
“Jadi begini Des, Bapak tadi senang melihat marchingbandnya. Mereka semangat sekali walau tampil di tengah korban longsor. Bapak dengar kalian tidak jadi berangkat karena kekurangan Dana. Betul?”
“Iya pak betul”
“Sebagai bentuk ucapan terimakasih Bapak karena kalian telah menghibur para korban longsor, Bapak ingin memberangkatkan kalian ke Jakarta. Bapak kagum dengan semangat kalian. Tampil di tengah riuh korban longsor saja kalian bersemangat. Bapak yakin jika di jakarta kalian pasti jauh lebih bersemangat.
“Terimakasih banyak pak. Saya sulit berkata apa-apa. Anak-anak yang lainnya pasti akan sangat gembira mendengar berita ini. Sekali lagi saya ucapkan terimakasih. Untuk kabar bahagia ini akan segera saya sampaikan kepada mereka”
Berjabatan tangan pun aku lakukan.
“Oya, untuk dana akan segera Bapak berikan secepatnya. Nanti ada pihak dari kami yang akan datang ke sini” Ucap beliau lagi mempertegas semuanya.
“Siang pak” Ucapku kepada beliau sambil bersalaman.
“Desta?” Tanyanya melontarkan senyuman.
“Iya pak betul sekali”
“Jadi begini Des, Bapak tadi senang melihat marchingbandnya. Mereka semangat sekali walau tampil di tengah korban longsor. Bapak dengar kalian tidak jadi berangkat karena kekurangan Dana. Betul?”
“Iya pak betul”
“Sebagai bentuk ucapan terimakasih Bapak karena kalian telah menghibur para korban longsor, Bapak ingin memberangkatkan kalian ke Jakarta. Bapak kagum dengan semangat kalian. Tampil di tengah riuh korban longsor saja kalian bersemangat. Bapak yakin jika di jakarta kalian pasti jauh lebih bersemangat.
“Terimakasih banyak pak. Saya sulit berkata apa-apa. Anak-anak yang lainnya pasti akan sangat gembira mendengar berita ini. Sekali lagi saya ucapkan terimakasih. Untuk kabar bahagia ini akan segera saya sampaikan kepada mereka”
Berjabatan tangan pun aku lakukan.
“Oya, untuk dana akan segera Bapak berikan secepatnya. Nanti ada pihak dari kami yang akan datang ke sini” Ucap beliau lagi mempertegas semuanya.
Sungguh berita yang tidak pernah aku duga sebelumnya, aku
memberitahukan kabar bahagia ini kepada yang lain. Mereka sangat bahagia
mendengar hal itu. Berjingkrak-jingkrak bahkan sampai ada yang
meneteskan air mata. Impian ini ternyata terwujud dan semakin nyata.
Kini aku tersadar bahwa saat kita merasa kecewa kita akan merasa bahagia
pula. Karena suka duka itu berkemas dalam satu paket. Gelora bung karno
kami datang dari kampung Puse untuk menampilkan pertunjukan terbaik
kami. Tidak tertahan lagi, kini semakin dekat dan tinggal menghitung
hari. Semoga kami berhasil memberi pertunjukan dengan maksimal. Tidak
perduli menang atau kalah, bagiku itu hanya sebuah hadiah. Mampu
menampilkan pertunjukan terbaik cukup buatku. Aku bukan bintang, tapi
kami adalah bintang.
0 komentar:
Posting Komentar