Pages

Senin, 13 Oktober 2014

CERPEN "PARIS FOR MY FIRST LOVE"

 PARIS FOR MY FIRST LOVE

Seorang gadis cantik berusia pertengahan dua puluh tahunan duduk di sofa menghadap ke televisi sambil mengigit kuku milik jari mungilnya.
“Saya akan mengumumkan siapa orang yang beruntung yang akan mendapatkan paket tour ke Paris gratis. Dan nomor pemenangnya adalah… 088899567”
Gadis itu kemudian melonjak berdiri dari kursinya begitu presenter acara tersebut selesai membacakan pengumuman. Hatinya begitu senang ketika mendengar nomornya lah yang telah terpilih dari sekian banyak orang.
Mara berteriak penuh kegembiraan. Suaranya begitu menggelegar, membuat temannya menghampirinya.
“Gila, La. Lo kenapa?” Vivi menghampiri Mara dengan wajah cemas dan cepat-cepat memegang tangan temannya itu.
Dengan satu gerakan cepat, Mara melompat dan langsung memeluk Vivi.
“Gue menang Vi. Gue dapat liburan tour ke Paris gratis.”
“Hah? Serius lo?”
“Lo kira dengan ekspresi gue yang kayak gini, gue bohong?”
“Hoki amat lo, La.” Ucap Vivi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Mara memang salah satu dari sahabatnya yang selalu beruntung dalam hal undian. Dia pasti selalu menang. Dan tahun ini, nampaknya Dewi Fortuna masih berpihak kepada gadis itu.
Pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan A-027 mendarat cantik di tengah hamparan luasanya bandara Charles de Gaulle. Mara bersiap melepaskan sabuk pengamannya. Perlahan suara derap langkah dari hak stilleto merahnya terdengar, saat ia menuruni tangga pesawat.
Dan inilah dia. Gadis itu telah sampai menginjakan kakinya di Paris. Jiwa gadis itu maih belum percaya kalau raganya sekarang sudah ada di Paris. Ia menghirup napas dalam-dalam dan memanjatkan doa syukur kepada Tuhan. Lalu ia melihat sekelilingnya. Sekitarnya ramai dipenuhi orang kulit putih yang berlalu lalang.
Gadis itu tersenyum kecil. “Paris.. I’m Coming!!”
sekitar 10 menit, ia menepuk pelan dahinya. Mara pelupa akhirnya melupakan salah satu hal penting. Ia lupa bahwa seorang tour guide yang akan menemaninya dan menungggunya di Bandara. ia tinggal. Tak ada kesempatan kembali lagi menuju nama Hotel yang barusan ia sebut.
Taksi tersebut berhenti di sebuah bangunan besar bertuliskan “Eiffel Seine Hotel”.
Gadis itu turun dari taksi tersebut lalu masuk ke hotel. Gadis itu nyaris menganga lebar saat memasuki hotel yang bergaya art Nouveau. Pintu hotel yang otomatis akan membuka sendiri jika ada orang yang lewat. Hal itu tentu sudah biasa, tapi yang membuat gadis itu terkagum-kagum adalah dekorasi hotel itu dengan kermerlap cahaya lampu yang menyinari sisi hotel dan Semua arsitektur hotel yang disusun nyaris sempurna. Ia semakin penasaran dan ingin mengetahui seperti apa kamar yang nantinya akan ia tempati. Imajinasinya mulai berhamburan mendatangi otaknya, membuatnya tersenyum tipis.
Dengan mengeluarkan segenap kemampuan berbahasa Inggrisnya Mara berkomunikasi dengan receptionist hotel. Ia memesan satu kamar. Lebih tepatnya sih bertanya mengenai kamar yang sudah dipesan dari Manajer Kuis undian yang ia ikuti.
Tiba-tiba seorang lelaki datang dan juga mengucapkan salah satu kata yang sama dengannya.
Holiday Paradise
Ya, nama begitulah acara undian yang membawa gadis itu sampai disini.
“Holiday Paradise? This is the key. Here it is.” Wanita receptionist itu kemudian menyerahkan sebuah kunci kepada Mara. Namun sebelum kunci jatuh ke tangan Mara, Cowok tu dengan jari-jari besarnya merebut kunci tersebut. Mulailah pertengkaran mereka.
Wanita recepsionist itu hampir saja memanggil satpam hotel untuk mengusir mereka. Sebelum akhirnya mereka terdiam bersamaan.
“Stopp!!! Holiday Paradise just reserve one room. You may check and stay together or you can reserve one room again.”
Penjelasan dari recepsionist bule itu membantu mereka memahami hal sebenarnya. Mara mencoba merogoh uang di sakunya. Ia tidak membawa uang banyak, jadi otomatis ia hanya berharap cowok itu mau memesan satu kamar lagi. Namun Mara kehilangan harapan saat ia tahu cowok itu sama dengan dirinya. No Money.
Cowok itu memilih tetap stay di kamar yang disediakan. Receptionist tersebut memberikan kunci kamar kepada cowok itu. Cowok itu dengan santainya meninggalkan meja receptionist dan bergerak menuju kamarnya. Ia dipandu dengan Bell boy hotel. Mara tidak mau kalah langkah. Ia mengikuti cowok itu dan menghampirinya. Jujur ia masih bingung dengan cowok itu. Ia memandangi cowok itu dari atas ke bawah lalu kembali lagi ke atas. Tampang-tampangnya tidak ada kebule-buleaan sama sekali. Mulai dari rambut hitamnya yang dipotong pendek acak-acakan, matanya yang berbentuk almond dan bola matanya yang hitam, hingga kulitnya yang berwarna kuning langsat. Semua itu cukup membuktikan kalau dia bukan bule.
“Eh, lo itu siapa sih? Pemenang undian juga? Kok lo tadi sebut-sebut Holiday Paradise?” Pertanyaan yang dari tadi bergerumun di hatinya mulai keluar secara spontan dari bibir.
“Harusnya gue yang nanya lo itu siapa? Gue itu tour guide yang ditugasin dari Holiday Paradise buat mandu seorang pemenang tour ke Paris gratis.”
Mara mencerna perkataan cowok itu sedikit demi sedkit.
Astaga!
Ia menepuk pelan dahinya. Tour guide ini yang ia tinggalin di Bandara. Sementara itu di sisi lain, cowok itu memandangi Mara lekat-lekat.
“Lo sendiri siapa?” Tanya cowok itu kemudian
“Gue pemenang undian Holiday Paradise.” Jawab Mara singkat sambil menggaruk-garukan kepalanya yang tidak gatal.
“Hah? Gak usah ngaku-ngaku lo.”
“Ihh gak percaya. Gue yang pemenangnya.”
Cowok itu malah ketawa keras mendengar perkataan Mara. “Lu itu kalau mau kamar gratis bilang aja. Gak usah bohong segala. Lagian ya pemenangnya itu cowok. Gue bisa tahu itu dari namanya. Bos gue juga gak mungkin gila nyuruh gue sekamar sama cewek. Jelas-jelas nama pemenangnya itu…
Belum sempat cowok itu melanjutkan perkataannya Mara segera memotongnya “Dhamara setiawa? Iya kan?”
Cowok itu mendadak menjadi bengong. Mulutnya menganga lebar melebihi mulut Mara yang sempet ternganga saat melihat hotel ini dari depan.
“Itu nama gue. Berarti bos lo udah gila.” Ucap Mara singkat di tengah kebingungan yang mencekam cowok itu. Dengan jari mungilnya Mara memutar kunci yang sudah tergantung di pintu.
Kreekk!! Pintu terbuka.
Benar saja, kamar ini membuatnya harus menutup mulutnya lagi. Ukuran kamar ini mendekati kata sangat lebar. Semuanya nyaris bernuansa klasik. Cat temboknya yang berwarna abu-abu keputih-putihan berpadu dengan spreinya yang berwarna biru keabu-abuan. Semua indah. Dan ada satu hal lagi. Dari jendela besar yang terletak di kamarnya ia bisa langsung melihat keindahan sungai Seine.
Bug!
Bunyi badan mungil Mara menyentuh keempukan ranjang hotel. Nyaman sekali. Sesekali ia memejamkan matanya. Sayang sekali ada sesuatu yang tiba-tiba mengganggu kenyamannya saat cowok itu tiba-tiba hadir di depannya sambil berdeham keras. Ia nyaris teriak.
“Nona manis. Itu ranjang Cuma ada satu dan kita berjumlah dua orang. So…”
Dimulai dari ucapan cowok itu terjadilah pertengkaran perebutan wilayah kekuasaan. Butuh waktu yang cukup lama bagi mereka hingga pada akhirnya dapat berdiam diri lagi setelah menandatangani surat perjanjian di kertas. Perjanjian mengenai batasan wilayah yang telah diatur sedemikian rupa oleh mereka.
Sebagai cewek Mara tidak mau kalah. Ia mendapatkan kekuasaan ranjang empuk itu dua hari pertama mulai dari hari ini. Minimal ranjang itu bisa membantu dia memulihkan lagi tulang-tulangnya yang lelah.
Pagi ini, pertama kalinya Davi menjalankan tugasnya sebagai Tour guide Mara setelah perkenalannya semlam dengan gadis itu yang dipenuhi dengan bumbu-bumbu pertengkaran. Gadis satu ini membuatnya harus banyak-banyak mengelus dada.
Tempat tujuan pertama mereka adalah Menara Eifell. Menara yang menjadi lambang kota mide tersebut. Letaknya tidak jauh dari hotel tempat mereka menginap, hanya 500 m.
Setelah berjalan kaki, anggap saja maraton di pagi hari mereka sampai juga disana.
Mara berteriak kesenangan. Dari dulu gadis itu memang selalu bermimpi memeluk menara Eifell. Dan sekarang menara tersebut ada di depannya. Ia berlari kecil menuju menara itu lalu mengelus-ngelus menara. Davi hanya memperhatikan cewek itu dari kejauhan sambil bergidik.
“Woiii Sini!” Teriak cewek itu dari kejauhan. Membuat Davi benar-benar malu. Ia harus memaklumi semua perbuatan konyol yang dilakukan gadis yang baru pertama kali menginjakan kakinya ke Paris.
“Hush. Suara lo itu. Malu tau dilihatin orang-orang. Lo kira ini Pasar Senen kali.” Ucap cowok itu kemudian.
“Ya maaf. Gue kan seneng banget kesini.” Cewek itu mulai mengecilkan volume suaranya.
“Oh iya, Dav. Lo potoin gue sih disini.” Lanjut Mara. Gadis itu menyerahkan kamera paroloid kunonya yang sejak tadi menggantung di lehernya.
Davi hanya mengangguk pasrah Inilah yang Davi paling benci dari semua pelanggan Tour dia. Semuanya selalu minta difoto. Hello… Davi Angkasa Argita adalah seorang Tour guide bukan Fotografer. Hanya itulah yang selalu dieluhkan Davi dalam batinnya berharap hatinya bisa berbicara.
Mara berdiri di bawah menara yang tingginya lebih dari ratusan kaki itu, bergaya memegang tiang menara bak model pemotretan. Rambutnya mengembang diterpa angin. Ia tersenyum cerah secerah langit biru berselimut awan putih pada pagi itu.
Melalui lensa bagian belakang kamera Davi dapat bermaksud membidik satu jepretan. Ia terkesima seketika, bukan kepada semua pemandangan indah di menara itu tapi kepada sosok cewek cantik yang sedang tersenyum manis. Cantik sekali.
Tidak hanya puas hanya berfoto disana. Mara ingin menyelusuri menara yang dicat cokelat kelabu itu lebih dekat. Ia ingin menaikinya. Benar-benar, ini adalah saat-saat yang sangat ia impikan. Ia bisa masuk ke dalam menara rancangan Emile Nouguier dan teman-temannya.
Tingkat pertama dan kedua dapat diakses dengan tangga dan lift. Sebuah loket tiket di menara selatan menjual tiket ke anak tangga yang dimulai di tempat itu. Di platform pertama tangga menaik dari menara timur dan pertemuan tingkat ketika hanya dapat diakses dengan lift. Dari platform pertama atau kedua tangga dibuka bagi semua orang yang naik dan turun tergantung apabila mereka telah membeli tiket lift atau tiket tangga. Ketika keluar lift di tingkat ketiga, mereka menaiki 15 anak tangga menuju platform pengamatan atas. Jumlah anak tangga dituliskan secara bertahap di sisi tangga untuk memberikan tanda tangga naik. Kebanyakan tangga naik memberikan pemandangan langsung ke bawah atau sekitar menara meskipun beberapa anak tangga pendek tertutup.
Dan sekarang tibalah mereka di puncak tertinggi. Dari sini semua terlihat sangat jelas keindahan kota Paris. Langit yang biasanya terlihat jauh sekarang tiba-tiba terlihat begitu dekat dengannya. Mara merasakan sentuhan angin yang membelainya. Sementara, Davi hanya mampu menatap gadis itu terpesona.
Begitulah hari-hari mereka habiskan. Berdua mengelilingi kota Paris yang penuh dengan kata indah.
Tak terasa sudah seminggu. Dan prahara itu datang. Diam-diam kebersamaan di antara mereka berubah menjadi cinta tersembunyi. Cinta yang perlahan mengisi labirin-labirin sunyi di hati mereka. Cinta yang mulai mewarnai hari-hari mereka tanpa mereka sadari.
Lagi-lagi Davi menggeram kesal. Malam ini ia tidak bisa tidur. Ia memperhatikan sosok gadis yang tengah tertidur pulas. Ya. Tidak pernah terpikir olehnya, ia akan menyukai cewek itu. Percayakah kalian dengan cinta yang datang secara tiba-tiba? Lalu apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia sudah tidak dapat memungkirnya lagi. Ia sudah tidak dapat menutupinya lagi. Mungkin sudah saatnya ia katakan semuanya. Setelah itu mungkin perasaannya sudah akan lega sebelum gadis itu pergi meninggalkannya.
Mara terlonjak dari ranjangnya ketika melihat jam sudah menunjukan pukul 10 siang. Ia tidur begitu lelap hingga bangun sesiang ini. Ia langsung saja menyerbu kamar mandi. Hampir saja ia lupa. Kamar mandi adalah wilayah teritorial Davi. Matanya melirik sana sini mencari sosok makhluk itu.
Davi tidak ada? Yang benar saja? Kemana dia? Itulah pertanyaan yang muncul setelah ia selesai menyusuri satu ruangan.
Baguslah! Ujarnya.
Ia dapat memakai kamar mandi tanpa seijin Davi. Biasanya tidak semudah ini, ia bisa mendapatkan air untuk mandi. Selalu saja ia bertengkar dengan Davi baru bisa mandi.
Selesai mandi dan berpakaian, Mara meraba meja rias. Ia menemukan secarik kertas surat tergeletak.
To: Mara
From: Davi
Woii lo kesiangan. Gue hari ini dari pagi sampai malem gak ada di hotel. Jadi lo puas-puasin lah nikmatin fasilitas hotel. Lagian hari ini hari terakhir lo berada disini. Oh iya, Mar. Ada sesuatu yang gue mau omongin ke lo. Ntar malem jam 8. Lo datang ke Le deine resto. Gue udah suruh taksi jemput lo. Lo siap-siap jam 8. Pakai baju yang udah gue kasih ya. Bajunya ada di lemari lo.
Thanks
Davi
Mara menutup surat dengan air muka bingungnya. Baru kali ini Davi melakukan hal ini. Oh iya baju. Sekarang ia langsung berlari kecil ke arah lemari. Ia tidak bisa menutup mulutnya saat melihat dress biru yang tergantung di hanger. Mara meraihnya. Meletakannya ke tubuhnya. Dress biru itu sangat cantik. Pas sekali dengan ukuran tubuhnya. Warnanya juga ia suka, ditambah lagi pernak-pernik mengkilap sepeti bintang menghiasi bagian pinggang dress itu.
Davi. Betulkah? Ia melakukan semua ini? Untuk apa?
Hal ini benar-benar sulit diterima akal sehatnya. Davi yang biasanya hanya memberikannya cacian makian dan kekesalan sekarang memberinya sebuah dress secantik ini.
Mara benar-benar bertekad tampil beda malam nanti. Siang ini ia menghabiskan waktunya di salon Paris. Creambath, Facial dan menggunting rambutnya.
Sorenya gadis itu mandi dengan lulur yang wangi sekali. Wangi aroma melati menyeruak, membalut tubuhnya.
Dan sekarang ia siap memulas wajahnya yang mulus dengan beberapa senuhan make up. Ia sibuk duduk di depan kaca dan sesekali memperhatikan make up yang sudah ia usapkan. Ia memeperhatikan setiap lekuk wajahnya.
Selesai.
Bahkan ia tidak percaya siapa orang yang saat ini berdiri di kaca. Apakah itu benar Dhamara Setiawan? Gadis yang selalu cuek dengan penampilannya.
Gadis itu langsung saja disuruh naik oleh supir taksi yang katanya suruhan Davi. Taksi tersebut membawanya ke sebuah tempat yang belum ia kunjungi sebelumnya.
Restauran Le diane
Mata Mara melirik kesana-kesini melihat seluruh dekorasi resto tersebut. Lampunya bagai sinar kunang-kunang. Cat temboknya berwarna cream sepadan dengan atap resto tersebut yang berwarna cokelat susu dan hampir sesuai juga dengan Lantai resto yang dilapisi karpet cokelat tua. Tiap ruangan diletakan lilin-lilin putih yang sengaja dinyalakkan agar menambah atmosfer kehangatan di dalamnya. tidak hanya itu, setiap rungan memilki tanaman yang sudah dibentuk sedemikian rupa di atas meja dikelilingi dengan lampu kecil-kecil yang dililitkan di tubuh tanaman itu. Benar-benar persis seperti surga ketenangan.
Mara melangkah mengikuti pelayan resto yang menunjukan kepadanya dimana Davi telah menunggunya.
Pelayan itu berhenti di sebuah meja. Mara mendapati sosok laki-laki yang tersenyum simpul kepadanya. Perlahan ia mendekatinya dan memandangi cowok itu lekat-lekat. Benarkah yang ada di depannya itu Davi?
Davi memegang lembut tangan gadis itu dan menyiapkan kursi untuknya duduk.
Hening.
Mereka berdua saling memandang seakan-akan terhipnotis juga dengan suasana romantis malam yang dihidangkan oleh Le diane.
“Kamu cantik, Mar.” Ucap Davi lembut.
Muka Mara tanpa diperintah pun menjadi merah. Ia menarik napas panjang untuk menutupi kekikukannya. “eh.. iy.aa.. Dav, ngapain lo ngajakin gue kesini?”
“Lo gak suka?”
“Bukan.. Gue suka banget gilaa keren.”
Seorang lelaki setengah baya tiba-tiba masuk ke ruangan yang tadinya hanya berisi mereka berdua saja. Lelaki itu memegang biola dan mulai mengeluarkan alunan melodi romantis. Davi mengulurkan tangannya ke Mara. Mara bangkit berdiri dan mendekatkan diri ke Davi. Gadis itu menyentuh pundak Davi dan Davi melingkarkan tangannya ke pinggang Mara. Mereka mulai menar-nari seakan resto tesebut milik mereka.
Lagu alunan petikan dawai biola tersebut mengalun indah, jauh lebih indah dari yang sebenarnya karena mereka tak berhenti-hentinya tersenyum dan saling menatap satu sama lain. Berharap malam ini tidak akan pernah berakhir.
Dan musik pun berhenti. Davi memegang kedua tangan Mara.
“Mar, gue gak tau harus mulai dari mana. Sebab gue juga gak tahu kapan dan dari mana rasa ini tiba-tiba muncul. Gue cinta sama lo, Mar.”
Mara makin bertambah gugup, tapi sebisa ungkin menutupi ekspresinya agar Davi tidak membacanya. “Guee… Sorry Dav, gue belum bisa jawab sekarang.”
“Ya gak usah jawab sekarang juga gak apa-apa. Yang jelas gue udah nyampein semuanya sebelum lo pergi balik ke Jakarta.”
Entah dorongan dari mana. Marra memeluk tubuh Davi begitu hangat. Lalu melepaskannya perlahan. “Kalau emang kita berjodoh. Kita pasti bertemu lagi di Paris. Dan ketika itulah gue akan jawab semuanya.”
1 tahun kemudian…
Paris, masih dengan menara Eifellnya yang tetap berdiri kokoh. Masih dengan langitnya yang cerah berselimut awan putih dan masih dengan segala keindahannya. Davi memotret menara Eiffel menggunakan kameranya. Sungguh suasana ini mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang telah membawa hatinya pergi bersamanya.
“Mas, bisa tolong fotoin gak?” Terdengar suara cewek yang sempet membuat Davi menolehkan wajahnya ke arah sumber suara.
Mara. Sosok Mara kini berdiri di sampingnya.
Benarkah dia Mara? Atau ini hanya imajinasinya saja?
“Hallo, Mas. Bisa tolong fotoin gak?”
“Mar..”
Belum sempet Davi meneruskan nama itu. Seseorang yang punya nama itu kemudian untuk kedua kalinya memeluknya erat. “Sekarang gue mau jawab janji gue di depan menara Eiffel. Davi Angkasa Argita, I love you”. Davi mendengarnya, mendengarnya begitu jelas. Perkataan dari seorang Dhamarra Setiawan yang membuatnya sekarang merasa seperti di puncak menara Eiffel.

0 komentar:

Posting Komentar