Pages

Senin, 13 Oktober 2014

CERPEN "BUKAN BINATANG LAJANG"

 BUKAN BINATANG LAJANG

Akhirnya, bukan binatang lajang…
Jatuh cinta pada pandangan pertama itu memamang indah, apalagi kalau kita bener-bener bisa mendapatkan tuh cintanya. Mungkin ini yang gue rasaain saat untuk pertama kalinya gue mengenal apa itu cinta. Cinta yang membuat hidup gue berubah, dan cinta juga yang mengajarkan gue arti kebersamaan.
Walupun ini cinta pertama dalam hidup gue, tapi gue yakin kalau ini bakalan jadi yang terakhir juga.
“Teng, teng, teng”
Lonceng pertanda masuk sekolah telah dibunyikan. Seperti biasa gue langsung masuk ke dalam kelas, dan langsung duduk di bangku paling pojok. Tidak seperti murid kebanyakan yang walaupun sudah masuk, tapi mereka tetap saja berkeliaran seperti tikus yang selalu mencari sabun. Gue hanya diam, dan duduk manis di tempat. Gue merasa kalau mereka berbeda sama gue. Atau mungkin, gue nya yang memang beda dengan mereka.
Kelakuan goblok gue yang seperti ini tidak bisa dihilangkan. Ternyata ini adalah penyakit yang telah ada di diri gue semenjak SMP. Rasa kaku untuk berbicara dengan orang masih saja gue alami. Bahkan beberapa orang di kelas X4 merasa malas, atau takut untuk berbicara dengan gue. Sesekali mereka memandang gua dengan pandangan penuh keanehan. Mereka selalu menggunjing gue, walaupun gue enggak mendengar langsung. Tapi feeling gue mengatakan kalau mereka itu sedang ngomongin gue. Ngomongin tentang keanehan gue dan ngomongin tentang kegoblokan gue.
“woy.. diem aja” suara dwi memecah khayalan gue.
“ehh.” Gue kaget, sambil senyum jelak melihat ke arah dia
Dwi adalah salah satu dari dua cewek yang sering negor gue. Walaupun hanya dua orang, tapi gue bahagia akhirnya ada juga orang yang mau nerima gue. Dwi adalah cewek pertama yang selalu ngasi masukan ke gue. Dia itu cerewet. Kadang gue suka risih kalau di deket dia.
eh lo itu jangan diem aja si.
Oo iya, lo juga harus berani negor orang.
Atau, lo itu kalau jalan jangan nunduk terus donk.
Begitulah masukan yang sering gue denger dari dia.
“ngumpul donk sama mereka sekali-sekali” kata dwi, sambil menunjuk kumpulan anak cowok alay di kelas gue.
“males lah.” Jawab gue, dengan muka kaku
“huu kaya mana mau dapet temen”
“ya nanti juga dapet.”
Setelah beberapa lama dwi nyerocos nanya ke gue, akhirnya dia berenti. Mungkin karena dia kesel kali setiap nanya panjang-panjang, pasti gue jawabnya dengan pendek-pendek. Tapi berhubung dwi adalah wanita tangguh (bukan saras 007 kok dia), dia tetep saja selalu nanya ke gue tanpa ada rasa jenuh.
Di rumah, gue selalu latihan gomong dan berekspresi di depan cermin. Gue ngomong apa aja yang gue pikirin di depan cermin yang di dalem nya ada muka gue yang mirip dengan anjing laut keselek penguin. Gue selalu mencari cara agar saat berhadapan sama orang tidak terlalu kaku. Tapi itu sangat sulit. Yang ada hanya cara bagaimana bunuh diri yang baik apabila takut untuk berhadapan kepada seseorang.
Setelah beberapa hari gue latihan ngomong (sama kaya bayi donk), akhirnya sedikit demi sedikit gue udah mulai enggak kaku lagi ngomong dengan orang-orang. Walaupun sebenarnya Cuma sama dwi. Yang tadinya gue hanya diem aja saat diajak ngomong dengan dwi, sekarang gue udah berani nanya ke dia. Walaupun pertanyaan yang gue tanya persis kaya anak TK yang nanya ke gurunya bagaimana caranya pipis yang baik.
Gue semakin deket sama dwi. Bahkan dia udah berani cerita tentang masalah pribadinya ke gue. Dia sering curhat ke gue tentang masalahnya sama orangtua dia atau tentang masalah dia dengan pacar-pacarnya terdahulu (mantan). Sebenernya dia sadar kalau lagi curhat sama orang yang salah. Jelas. Curhat dengan gue sama aja kaya menabur garam di kali (lho.)
Waktu berlalu begitu cepat, sehingga kedekatan gue sama dwi dipandang sebagai orang yang sedang pacaran, oleh teman-teman kita. Pernah satu waktu dwi nyuruh gue ngebuati gambar untuk tugas seni rupa. Saat itu gue enggak bisa nolak setelah di rayu oleh rayuan setan yang dia punya. Berhubung gue orangnya goblok, gue pun nurut aja sama perintah dia. Saat gue lagi asik-asik ngegambar, tiba-tiba suara siulan persis seperti orang lagi manggil burung terdengar di kuping gue, diiringi dengan kata-kata mistis “CIE-CIE”. Gue sadar kalau yang mereka lakukan itu untuk gue. Ternyata bener aja, saat gue nengok ke samping ternyata si dwi dengan gobloknya lagi ngipasin gue (pantes aja dari tadi gue ngerasa adem).
“apaan si lu wi pake ngipasin segala” kata gue, sewot.
“gak papa, itung-itung bales budi.” Jawab dwi, sambil terus ngipasin gue.
Disaat otak gue lagi ruwed karena ulah mereka, kembali suara kuntilanak kembali terdengar,
“cie.. anvi ni gue! ANVI” kata kurnia, salah satu temen kita yang dari tadi nyaksiin adegan konyol gue yang dikipasin sama dwi.
Sebenarnya di kelas X4, ada satu cewek yang gue suka. Namanya euis, kulitnya putih dengan rambut panjang, dan dia mempunyai senyum yang menggoda (lebih menggoda dari badut ancol). Dan satu hal yang gue suka dari dia. Sifatnya yang tenang dan kalem, itulah yang membuat gue tertarik sama dia. Beda banget sama dwi. Sebenarnya udah dari lama gue memperhatikan euis, tetapi gue terlalu takut untuk menegornya. Gue hanya berani melirik dia dari jauh. Pernah sekali saat gue sedang serius merhatikan dia, tiba-tiba dia menoleh ke arah gue. Gue pun langsung mati langkah, gue gelagapan. Saat itu euis hanya senyum melihat tingkah gue yang mirip ikan cupang kekurangan air.
Tentang perasaan gue ke euis, rasanya ingin sekali gue bercerita kepada dwi tentang itu semua. Tapi gue tau kalau itu salah, iya salah banget.
Gue tau kalau sebenarnya selama ini dwi suka sama gue. Semua SMS yang dia kirim ke gue, dan sikap dia kalau di depan gue. Itu semua sudah jelas membuktikan kalau dia suka sama gue (ge-er ni).
Malah sempet gue dibikin kaget sama dwi, di malem hari saat gue lagi bengong di bawah bulan purnama, dwi mengirim SMS ke gue, yang isinya kalau gue harus mau jadian sama dia. Gue kaget dengan serangan mendadak yang dia kirim ke gua.
Besoknya gue langsung tanya ke dia,
“maksud lo apa wi tadi semalem SMS gue kaya gitu?”
“iya, lo mau ya pura-pura jadi pacar gue” jelas dwi “soalnya gue disuruh sama alya diyorang jadian sama habibi”
“nah, bukannya bagus itu.” Gue ngomong dengan gila.
“bagus apanya! udah tau gue enggak suka sama habibi” kata dwi, melas.
Gue menjadi iba dengan si dwi. Di jaman melenium seperti sekarang ini, masih aja kawan-kawan tirinya itu nyuruhin dwi jadian secara paksa dengan lelaki hidung pesek (wah.).
Sebenarnya gue belum menyanggupi permintaan dwi untuk pura-pura jadi pacar dia. Tetapi dia dengan dibantu mulutnya yang 100 itu bilang ke orang-orang kalau kita udah jadian, dengan cepat gosip itu menyebar ke penjuru kelas. Lebih cepat dari api yang membakar rambut gue.
“cie, yang baru jadian. makan-makan dong” suara itu tiba-tiba muncul dari arah belakang gue.
Saat gue nengok ke belakang, ternyata orang yang ngomong tadi adalah euis, wanita pujaan gue.
“eh eis” kata gue, sok malu-malu anjing.
“makan-makan ge”
“ma.. makan, iya nanti makan”
Karena gerogi, gue pun ngejawab pertanyaan euis dengan tololnya.
Sebenernya saat itu gue mau langsung ngomong ke dia, kalau gue dan dwi itu hanya pura-pura jadian. Dan sebenernya kalau gue itu lebih suka sama lo.
Tapi niat suci gue itu gagal gue laksanakan.
Selama berhari-hari wajah euis terbayang-bayang di otak gue, membuat gue jadi kaya orang stres. Kadang gue senyum sendiri, kadang ketawa gak pugu karuh, dan kadang sampe nangis karena enggak dikasih uang jajan (lho.) saat itu gue lagi suka-sukanya sama dia dan sempet berfikir untuk ngasi tau ke dia. Rasanya pengen sekali gue mengungkapkan isi hati gue selama ini ke dia. Tapi gue sadar, kalau gue hanyalah sebatas orang aneh yang enggak punya mulut di mata dia. Mana mungkin cewek secantik dan semanis dia bisa mau sama gembel subuh kaya gue. Gue selalu mencari cari kesempatan untuk bisa dekat sama dia.
Seperti saat upacara bendera hari senin, gue sampe bela-belain untuk baris di paling depan hanya untuk bisa bersebelahan sama dia. Atau saat pelajaran olah raga, saat itu pak hadi (guru olah raga kita) akan mengadakan permainan yang akan begitu menguji kerjasama kelompok. Pak hadi lalu menyuruh kita untuk membuat dua baris kelompok, gue sengeja masuk barisaan yang ada si euis, dan berdiri tepat di belakang dia. Permainan yang akan kita mainkan bernama “OPER-OPERAN”. Nama permainan yang diberikan oleh pak hadi lebih terdengar seperti lagu dangdut.
Kami semua sudah siap di posisi masing-masing untuk mulai.
“satu, dua, tiga” pak hadi memberi aba-aba tanda permainan dimulai.
Secara bersamaan, teman satu kelompok gue yang paling depan mengoper bola menggunakan tangan ke belakang, begitu seterusnya.
“ayok cepet, ayok cepet”
Kelompok gue mulai berteriak tanda semangat. Seolah olah permainan ini adalah satu hal yang akan menentukan masa depan mereka nantinya.
setelah bola sudah sampai di tangan gue, dengan sigap gue langsung memutarkan bandan untuk memberikan bola kepada euis. Saat itu gue memandang muka euis begitu bersinar, indah sekali. Dan bola yang gue pegang ini seperti kado teristimewa yang gue punya untuk langsung diberikan ke dia. Lalu dengan semangat euis langsung mengambil bola yang dari tadi gue pegang, dan kejadian langka pun terjadi saat itu. Karena terlalu bersemangat tanpa sengaja tangan gue kepegang oleh euis. Gue kaget + seneng. Kejadian yang hanya berlangsung sedetik itu, berhasil membuat gue seneng bukan kepala (Nah).
Hari itu gue lagi duduk-duduk santai di dalam kelas.
“minjem Hp lo si pan” kata indri, sambil menjulurkan tangan nya. Indri adalah temen gue sejak SD, dan sekarang di SMA kembali ketemu (bosen euy).
“bentar ya.” Kata gue, sambil ngotak ngatik Hp “nih”
Hp gue merupakan primadona di mata kawan sekelas gue, mereka seneng sekali minjem Hp butut gue itu. Entah apa yang membuat mereka betah berlama-lama maenin Hp gue, yang jelas itu pasti menyiksa si Hp yang harus melayani beberapa orang dalam sehari. pasti dia lelah.
Sejam berlalu, indri belum juga mulangin Hp gue
“mana dri Hp gue? lama amat” kata gue.
“tu lagi dipinjem eis” kata indri, sambil menunjuk euis yang memang lagi megang Hp gue.
Mampus. gue harus kaya mana ni? Hp gue di pegang eis, dan gue terlalu pengecut untuk langsung minta ke dia. Gue mulai bingung.
Gue pun kembali duduk, gue iri sama Hp butut gue. Walaupun butut tapi dia laku, dan dia udah ngerasain rasanya dipegang-pegang sama euis, sementara gue?.
Tidak lama, euis menghampiri gue.
“ni pan Hp nya” kata dia, sambil mengembalikan Hp gue.
“i..iya” jawab gue, grogi
“makasih ya”
“ma..sama sama”
Gue jadi pengen pingsan saat itu. Sambil memaki diri sendiri yang bener-bener enggak berkutik di hadapan euis. Bahkan enggak bakal mungkin kalau gue bisa nembak dia.
Pada akhirnya, gue yakin kalau dia adalah jodoh gue, yang selama ini gue cari-cari. Euis sepertinya diam-diam suka juga sama gue. Tepatnya pas pelajaran komputer, dengan berani euis minta nomor gue.
“pan minta nomor lo si”
“hah, untuk apa is?” kata gue, kaget.
“ya.. untuk apa aja”
“ya udah nih, catet ya”
Sebagai lelaki gue merasa malu, seharusnya gue yang minta nomornya duluan. Bukan dia. Gue ngeraba-raba diri gue sendiri, hanya untuk memastikan kalau gue ini sebenernya bukan perempuan. Alhamdullilah, ternyata bener gue bukan perempuan. Tet*k gue enggak numbuh.
Setelah kita saling tukeran nomor Hp, gue seperti dapat pencerahan yang selama ini gue butuhkan untuk menyinari hidup gue yang burem gelap.
Di rumah.
Gue udah enggak sabar untuk SMS euis. Gue SMS dia dengan hati-hati, agar omongan aneh gue nanti enggak keluar waktu SMSan.
Gue: hay euis. Lagi apa?
Euis: lagi nonton fan.
Gue: Oo.. nonton apa?
Euis: ya nonton TV lah.
Begitulah SMS yang gue kirim ke dia, begitu aneh dan tidak berbobot. Tapi dengan ketidaktahuan, gue terus saja SMS dia dengan pertanyaan-pertanyaan anak playgroup.
Mungkin karena capek meladeni orang idiot kaya gue. dia menyudahi SMSannya dengan beralasan ingin pergi.
Pendekatan di hari pertama lewat SMS pun dinyatakan GAGAL.
Hari-hari berikutnya gue tetap SMSan sama euis. Inilah satu-satunya cara gue untuk bisa ngobrol sama euis, ya meskipun secara langsung bisa untuk ngobrol sama dia, tapi gue belum berani untuk ngedeketin dia. Porsi SMSan gue dengan dia pun semakin bertambah. Yang tadinya hanya malem saja, kini menjadi sore-malem. Setiap pulang sekolah. Setelah sampai rumah, gue selalu bertanya ke dia apakah dia sudah sampai rumah apa belum. Pertanyaan yang bodoh, tapi berarti banyak buat gue.
Dan untuk pertama kalinya, gue bisa duduk dan mengobrol dengan dia secara langsung. Sebenarnya si ini semua berkat si adit. Teman dekat euis sejak SMP. Gue dijebak sama dia agar bisa ngobrol dengan euis.
“pan sini ge” kata adit, “gue mau ngomong sama lo”
“ngomong apa dit”
“sini.” Adit sambil menarik gue.
Ternyata dia ngajak gue ke meja paling belakang, dan disana ada euis yang dari tadi lagi santai sambil dengerin musik.
sekarang kita duduk bertiga. Gue duduk tepat di hadapan euis.
“gue panik”
“euis hanya senyum”
“dan adit berubah menjadi setan”
Adit mulai bertanya kepada gue, dan gue hanya ngejawab seadanya, sambil sesekali melirik ke arah euis yang sedang asik mendengarkan musik. Ternyata pertanyaan-pertanyaan yang dia keluarkan tadi hanyalah sebuah umpan, langkah selanjutnya dia meninggalkan gue berdua sama euis.
Sekarang gue sangat panik, gue panas dingin. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di depan gue, euis hanya senyum menantikan pertanyaan yang akan gue keluarkan. Karena terdesak, gue memberanikan diri bertanya ke dia.
“la..lagi denger lagu apa is?”
“lagu ungu”
“emm, bagus tu”
“kaya ngerti aja”
Mampus. gue bingung apa yang harus gue lakukan selanjutnya. Rasanya ingin sekali gue pura-pura mati untuk mengalihkan perhatian.
“jangan gerogi ge” kata euis, sambil senyum ngegoda.
“he..he..he” karena kehabisan kata, gue hanya bisa ketawa jelek.
“kalo lewat SMS aja, cerewet. Sekalinya ngomong langsung…” euis mengambil nafas sebentar “jadi gagu, he..he..he”
gue selalu berusaha untuk mengungkapkan rasa ke dia, tapi itu sulitnya minta ampun, rasa grogi untuk ngomongin itu langsung seolah-olah jadi berlipat ganda. Gue baru sadar, kalau selama ini gue kelamaan di kardus, mangkanya untuk nembak cewek aja gue enggak mampu.
“wi gue mau ngomong sama lo” gue mencoba untuk minta pandapat ke dwi.
“ngomong apa?” kata dwi
“sebenernya selama ini gue suka sama euis” gue mencoba menjelaskan “dan gue mau nembak dia, tapi gak tau caranya”
“APA!” dwi kaget.
“iya gue mau nembak dia”
“emm, pantes aja lo sekarang jarang SMS gue, ternyata udah ada inceran toh”
“gimana, lo tau caranya gak?”
“gak tau gue pan.” Kata dwi, sambil pergi
Gue bingung sama dwi, biasanya dia selalu ngasi masukan ke gue. tapi untuk kali ini, dia merasa enggak mau tau.
Malam harinya gue mencoba untuk menelpon euis. Gue udah berencana untuk nembak dia hari itu juga. Gue udah enggak tahan dengan semua siksaan ini.
“Halo.” Kata gue dari Hp.
“Tumben malem-malem nelpon, ada apa pan?” Kata euis di sebrang telepon.
“gue mau ngomong penting sama lo.”
“ya udah apaan.”
“sebenernya gue…” gue bingung mau ngomong apa “ehh nanti aja lah is” gue langsung menutup telepon.
Untuk kesekian kalinya gue gagal nembak dia. Dan yang pasti siksaan batin ini makin terasa saja. Gue memang tipe cowok yang bodoh kalau udah urusan gebet-ngegebet cewek. Kata-kata yang sebelumnya udah gue siapin untuk nembak dia, seketika hilang semua saat gue udah mulai ngomong ke dia. Sejujurnya gue juga kurang yakin kalau euis mau nerima gue saat nanti gue tembak. tapi gue enggak mempermasalahkan hal itu, karena yang penting gue udah bisa mengutarakan perasaan gue selama ini ke dia. Ya.. kalau memang diterima, anggep aja bonus.
“lo harus berani pan nembak dia.” kata karisma, salah satu temen gue
“tapi gue bingung harus mulai dari mana.” Gue mulai frustasi.
“ya lu tinggal bilang aja kalau lu suka sama dia” karisma sok bijak “kalau memang dia peka, dia pasti langung nerima lo kok”
“iya juga ya.” Gue mulai percaya
Karisma memang oke kalau urusan yang beginian. Sepertinya gue memang harus belajar banyak dengan dia. harus diakui kalau dia ini tipe cowok playgroup (lho), sudah beberapa kali dia gonta ganti cewek. Entah apa rayuan yang dia lakukan saat mendapatkan cewek, yang pasti gue punya dua teori untuk membuktikan ini semua. Pertama: cewek yang dia dapetin adalah tipe cewek yang katarak. Kedua: dia memanfaatkan rambutnya yang jigrak tajem untuk mengancem semua cewek untuk mau jadi pacar dia.
Intinya gue salut sama dia.
karena udah kepalang basah, dan sepertinya euis pun udah mulai tau kalau selama ini gue mau nembak dia. akhirnya gue niatin dengan sepenuh hati untuk nembak dia pada hari minggu, dan kebetulan tanggalnya pun bagus: 9-10-11. Setelah rencana tersusun rapi, gue pun langsung menelpon euis.
saat telepon diangkat oleh euis, gue langsung buru-buru ngomong takut nanti lupa lagi.
“is, gue mau bilang sama lo kalau…” lagi-lagi mulut gue jadi kaya kena stroke. “jadi sebenernya… eeeem. maksud gue itu… eeem.” Sial.
Gue nenangin diri gue sebentar, gue tarik nafas dalam-dalam. BUSSHHH gue ngentut.
“sebenernya… gue mau bilang..” gue ngambil nafas lagi.
“iya” euis sepertinya udah mulai gak sabar.
“selama ini gue suka sama lu.”
Oh bumi telan lah aku!
Suasana menjadi hening..
Euis akhirnya merespon kata-kata gue tadi “gue juga suka sama lo”
Oh, thanks god.
Besoknya gue ngebuatin euis puisi sebagai tanda jadian.
Gue mengambil kertas bergambar hati, gue mulai menulis puisi menggunakan pena warna pink. Gue berharap kesan yang ditimbulkan menjadi romantis. Puisi itu gue beri judul “Menakutkan”. Terdengar horor memang.
MENAKUTKAN.
Saat pertama kali aku melihatmu,
Aku takut dekat dengan mu.
Disaat aku telah dekat dengan mu,
Aku takut bicara dengan mu.
Disaat aku telah berani bicara dengan mu,
Aku takut jadi suka dengan mu.
Dan saat aku telah suka padamu,
Aku takut untuk bisa memilikimu.
Akhirnya, disaat aku telah memilikimu,
Aku semakin takut. Semakin takut kehilangan mu.
Begitulah puisi yang gue buat untuk dia. memang sederhana, tapi cukup bermakna.
Pas jam istirahat, dan kebetulan di kelas lagi sepi, gue mendekati euis dan memberikan puisinya yang memang sudah terbungkus rapi oleh amplop warna pink.
Sekarang gue tinggal nunggu dia baca puisinya, dan berharap respon yang dia berikan setelah membaca puisi dari gue baik. Gue telah berkhayal yang baik-baik sambil senyum-senyum sendiri.
Malem harinya gue mendapat SMS dari euis. Dia sepertinya senang dengan puisi yang gue buat. Dan dia berharap kalau gue akan terus membuatkan puisi untuk dia. memang puisi itu luar biasa dahsyatnya. Tak ada satu cewek pun di dunia yang bisa nolak pesona puisi.
Sampai saat ini, hubungan gue sama euis masih berjalan. Gue merasa cocok dengan dia, begitupun sebaliknya. Satu hal yang membuat gue betah sama dia: sifatnya yang tidak pernah membuat gue cemburu. Bila di samping dia, gue merasa menjadi lelaki yang paling sempurna.

0 komentar:

Posting Komentar