Piagam
Madinah memang merupakan sebuah karya fenomenal yang pernah tercacat dalam
sejarah islam. Tetapi ketika ada pertanyaan apakah Piagam Madinah adalah
merupakan sebuah konstitusi terbaik yang pernah ada? Maka kita harus merujuk
pada data yang dapat dipercaya sehingga kita dapat mendapatkan hasil yang
sesuai dengan fakta serta dapat dipertanggungjawabkan keotentikannya. Karena
banyak sekali tulisan-tulisan tentang Piagam Madinah yang melihat piagam
tersebut dari banyak sudut dan segi.
Untuk
mengetahui apakah Piagam Madinah merupakan sebuah konstitusi terbaik atau
justru sebaliknya, maka kita harus dapat melakukan penilaian terhadap piagam
ini dari berbagai segi. Berikut adalah merupakan penilaian terhadap piagam ini
dari beberapa segi:
a.
Sebagai
piagam yang lengkap (Syamilah)
Menurut para ahli sejarah yang kemudian
mengemukakan pendapat dan penilaian masing-masing yang berlainan, tetapi pada
dasarnya pendapat mereka semua hampir serupa. Antara ahli-ahli sejarah yang
mengeluarkan pendapat ialah:
1)
Muhammad
Cholid dalam bukunya “Chatam un Nabiyyin” menyebutkan: “Inilah
sebahagaian dari kandungan “piagam” yang utama itu, ialah dasar-dasar Negara
Islam yang didirikannya. Isinya yang paling tegas adalah bekerja untuk mengatur
ummat, membentuk suatu masyarakat, dan menegakkan suatu pemerintahan”.[15]
2)
Dr.
Muhammad Jalaluddin Sarur dalam bukunya “Qiyam ud Daulah” mengatakan: “Sesudah
pasti tempat kediaman nabi di madinah, maka dia lalu berfikir untuk membuat
suatu peraturan (nizham) untuk kehidupan umum, yang akan menjadi sendi bagi
pembentukan persatuan bagi segenap warganya (penduduk).
Ditulisnyalah suatu piagam
antara orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar, sebagaimana dibuatnya
perjanjian terhadap kaum yahudi, yang memuat hak dan tugas yang merupakan
syarat-syarat bagi mengakui mereka”.[16]
b.
Suatu Undang-Undang
Negara
Piagam Madinah merupakan
sebuah karya fenomenal yang pernah tercatat dalam sejarah. Banyak pendapat yang
mengatakan bahwa piagam itu adalah suatu “Undang-Undang Negara”, yang
dihasilkan oleh Nabi Muhammad sebagai seorang “negarawan” (stateman)
yang dipimpin oleh Tuhan, atau seorang “legislator” dan “lawgiver” yang luar
biasa pintarnya. Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa sarjana diantaranya Prof.
H.A.R. Gibb, George E. Kerk, Joseph Hill, dan Emile Dermenghem.[17]
c.
Suatu
Charter (piagam)
Umumnya para ahli mengakui
bahwa naskah tersebut adalah suatu “ charter” (piagam) yang mengakui tentang
hak-hak. Di dalam lingkungan pengertian charter ini, termasuk juga didalamnya
pengakuan bahwa naskah ini adalah:
1)
Declaration
of human rights
(pernyataan hak-hak azasi manusia)
2)
Le droit
de I ‘homme et du
citizen (pengakuan hak manusia dan penduduk)
3)
Declaration
of birth of state (pengumuman
lahirnya suatu negara)
d.
Suatu
Perjanjian
Berbeda dengan pendapat
sarjana-sarjana barat yang memandang paiagam itu suatu undang-undang negara
sebagaimana yang sudah kita terangkan, maka ahli-ahli Islam dari dahulu lebih
menitikberatkan pandangannya kepada sifat perjanjian yang dimuat dalam piagam itu.
Kitab-kitab Islam selalu
menamakan piagam itu dengan “’Ahdun Nabi bil Yahudi” (perjanjian nabi dengan
kaum Yahudi), atau dengan “‘Ahdun bainal Muslimin wal Yahudi” (perjanjian
antara kaum muslimin dan yahudi).
Oleh karena pandangan
mereka bersifat keagamaan semata-mata (agamis), maka perjanjian itu diartikan
sebagai suatu hubungan antara pemeluk islam di satu pihak dengan
pemeluk-pemeluk agama lain di pihak lainnya. Sebab itu, piagam tersebut
dijadikan bukti adanya sifat kesabaran dan toleransi islam terhadap
pemeluk-pemeluk agama lainnya.[19]
e.
Suatu
konstitusi negara yang bermutu tinggi
Piagam Madinah merupakan
sebuah konstitusi tingkat tinggi yang belum ada tandingannya sampai saat ini.
Hal ini dapat dibuktikan dengan :
1)
Piagam
Madinah merupakan kesepakatan yang disetujui oleh banyak pihak. Sehingga
merupakan sebuah piagam yang unik dan berbeda dengan yang lainnya. Sekurangnya
ada tiga pihak yang menyetujui piagam tersebut diantaranya:
a)
Nabi
Muhammad sebagai pemimpin yang memegang dan menuliskannya.
b)
Orang-orang
yang percaya dan memeluk agama Islam, dari suku Quraisy dan suku Yastrib, dan
c)
Orang-orang
yang ikut bersama mereka.[20]
2)
Menonjolkan
Nabi Muhammad
Piagam ini menjadi sangat
istimewa dengan menonjolkan Nabi Muhammad sebagai pelopor dan penggagasnya. Nabi
Muhammad juga yang menandatangani piagam ini secara langsung bukan berarti
karena “kurnia” (belas kasihan) atau karena “paksaan” dari rakyat dan bukan
pula didahului oleh suatu majlis yang memutuskan piagam itu. Tetapi nabi
mewakili “Publik Opini” yang sepakat mengadakan perjanjian itu. Konstitusi ini
dinamakan sebagai sui generis. Pendapat inilah yang lebih tepat
dan sesuai dengan ciri istimewa yang terdapat pada konstitusi itu, baik menurut
hurufnya maupun menurut semangat dan jiwanya.
3)
Penentuan
siapa warga negara
Berbeda sekali dari apa
yang senantiasa dituduhkan terhadap Negara islam yang penduduknya merupakan
mayoritas muslim seolah-olah tidak ada penduduk non-muslim didalamnya akan
tetapi Piagam Madinah telah memberikan bukti nyata bahwa dalam Negara Islam
juga diakui penduduk non-muslim. Dr. Hasan Ibrahim Hasan telah membagi penduduk
madinah menurut Piagam Madinah ke dalam golongan:
a)
Muhajirin,
ialah orang islam yang hijrah dari Mekkah.
b)
Anshar,
ialah orang-orang islam dari penduduk Madinah.
c)
Munafiqun,
ialah penduduk madinah yang belum memeluk islam.
d)
Yahudi,
ialah kaum Yahudi yang tinggal di Madinah.[21]
4)
Penggunaan
kata ummat yang berarti bangsa dan negara
Istilah baru yang dibawa
oleh konstitusi ini adalah perkataan ummat / ummah, yang terletak pada
bagian terdepan sekali yaitu pada pasal pertama. Perkataan ummat dalam
pasal ini mempunyai pengertian yang sangat dalam, yang merubah paham dan
pengertian kewarganegaraan yang hidup dikalangan bangsa arab. Dengan timbulnya ummat
dibongkarlah paham bersuku-suku dan berkabiah-kabilah yang sangat
memecahbelahkan masyarakat arab.[22]
5)
Cita-cita
kenegaraan
Cita-cita kenegaraan yang
terkandung dalam muqaddimah dan pasal 1, adalah menggambarkan “Ideologi Islam”
dalam membentuk Negara. D.de Santilana dalam karangannya Law and
Society menegaskan ide-ide islam yang terkandung di dalam piagam: “All
these ideas are already set forth in the oldest historical document of islam,
the charter promulgated at Medina in the year one of the hijrah”.[23]
6)
Pengakuan
Hak Azasi Manusia (HAM)
Ini merupakan konstitusi
pertama yang pernah dibuat pada hampir 14 abad silam yang telah mengakui hak
azasi setiap manusia, sewaktu hidup manusia sangat sedarhana, sangat primitif,
masih menikmati hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia yang hidup dalam
abad-abad modern. Tetapi Rasulullah telah meletakkan sebuah dasar yang sangat
luar biasa tentang pengakuan hak azasi manusia.[24]
0 komentar:
Posting Komentar