Piagam
Madinah dibuat dengan maksud untuk memberikan wawasan pada kaum muslimin waktu
itu tentang bagaimana cara bekerja sama dengan penganut bermacam-macam
agama ketuhanan yang lain yang pada akhirnya menghasilkan kemauan untuk bekerja
bersama-sama dalam upaya mempertahankan agama. Strategi nabi tersebut sangat
ampuh , terbukti dengan tidak memerlukan waktu lama masyarakat islam, baik
Muhajirin maupun Anshor telah mampu mengejawantahkan strategi tersebut
dalam kehidupan sehari-hari. Keberhasilan strategi tersebut tidak terlepas dari
kepiawaian Nabi dalam melihat kondisi masyarakat sekitarnya yang sangat.
memerlukan arahan dan tauladan dari pemimpin guna menciptakan keadaan yang
lebih baik. Perubahan tatanan masyarakat di Madinah merupakan tolak ukur dari
keberhasilan atas perjanjian damai yang dibuat oleh nabi.[12]
Pasal-pasal
dalam perjanjian tersebut mencakup hampir semua kelompok di Madinah dan
menjadi semacam front kesatuan. Kaum Yahudi dan Muslim harus saling membantu
jika terjadi serangan terhadap orang-orang yang masuk dalam perjanjian ini.
Mereka harus menjalin persahabatan yang baik, saling menasihati, berperilaku
jujur, dan tidak saling mengkhianati. Nabi Muhammad bahkan memasukkan
orang-orang pagan (penyembah berhala) dalam perjanjian ini. Juga berisi
berbagai macam kewajiban yang mengikat semua orang mukmin (kecuali orang pagan
dan Yahudi), dan harus saling membantu anggota kelompoknya yang mempunyai beban
hutang. Jadi perjanjian ini tidak hanya untuk mengatur masyarakat, tetapi juga
meletakkan dasar-dasar sebuah Negara. di Mekkah, beberapa anggota senat menjaga
kepentingan para pemilik ini,namun di Madinah hal itu tidak berlaku karena
otoritas semacam senat tersebut sehingga tidak ada lembaga yang melindungi
kepentingan para pemilik kekayaan atau individu dari kejahatan yang merugikan
mereka. Perjanjian ini menjadi dasar bagi berdirinya perwakilan semacam itu.
Dalam banyak hal, perjanjian ini mempunyai arti penting yang revolusioner bagi
masyarakat Arab. Nicholson menulis, “Tidak ada orang yang mengkaji masalah ini
tanpa merasa terkesan dengan kepiawaian politik pembuatnya. Sebagai langkah
reformasi yang taktis, perjanjian itu merupakan sebuah revolusi. Muhammad tidak
membuka pintu kemerdekaan suku-suku, tapi menghapuskannya dengan mengganti
pusat kekuasaan dari suku kepada masyarakat, dan meskipun masyarakat itu
terdiri dari kaum Yahudi, pagan, dan kaum muslimin, ia benar-benar bisa melihat
ke depan apa yang tidak diketahui para oponennya, bahwa kaum Muslimin bersikap
aktif dan di masa mendatang pasti menjadi kelompok yang dominan dalam suatu
negara yang baru berdiri.”
Komentar
dari Montgomery Watt: “Muhammad tentu saja bukanlah pemimpin tunggal masyarakat
ini. Kaum imigran (Muhajirin) diperlakukan sebagai kelompok suku, dan ia adalah
pemimpin mereka, namun ada delapan kelompok suku lain yang mempunyai pemimpin
mereka sendiri. Jika konstitusi ini menjadi bukti kuat akan hal itu, Muhammad
lebih unggul dari para pemimpin suku lain dalam dua hal. Pertama, orang-orang
yang concerned dengan perjanjian ini adalah orang-orang mukmin, dan ini berarti
mereka menerima Muhammad sebagai seorang nabi. Ini artinya menerima semua
aturan yang mengikat yang berasal dari wahyu, dan memberi gelar kehormatan
kepada Muhammad sebagai penerima wahyu dan mungkin ajaran kebijaksanaan yang
tidak dimiliki oleh manusia biasa, paling tidak dalam agama. Ini tidak berarti
menerima semua keputusannya dalam masalah-masalah yang tidak diwahyukan. Kedua,
meskipun konstitusi ini menyatakan bahwa ‘apabila kamu berselisih tentang suatu
masalah , maka kembalikan kepada Allah dan Muhammad’ dalam bulan-bulan purnama,
Muhammad boleh jadi tidak lebih dari seorang pemimpin agama masyarakat
Madinah. Dalam masalah-masalah politik, ia hanyalah seorang pemimpin kaum
imigran, dan mungkin lebih lemah dibandingkan dengan para pemimpin suku
lainnya”. [13]
0 komentar:
Posting Komentar