Pages

Senin, 13 Oktober 2014

CERPEN "HUJAN RABU PAGI"

 HUJAN RABU PAGI

Derainya menerjang pohon-pohon yang diam, membangunkan dedaunan yang tengah tertidur. Biasnya disambut baik oleh burung-burung yang sedang melebarkan sayapnya. Mereka tak murung kala hujan turun di pagi buta. Terkecuali, seorang berusia senja di seberang sungai yang sedang termenung, membiarkan air menghujam tajam ke tubuhnya. Ia merunduk penuh keputus asaan, menciumi aroma sungai dengan tatap kehampaan. Kemudian aku datang padanya, lantas bertanya. “Ada apa, Kek?”
Ia masih dengan kesibukan yang sama. Dengan mata yang terpejam, ia terus menerus menghirup aroma sungai. Mendadak ia menarik tanganku. “Lihat di hadapanmu! Tangan-tangan usil telah mengotorinya…”
Aku terdiam karena ucapannya yang sangat dalam. Kepeduliannya pada lingkungan membuatku merasa malu dengan statusku sebagai seorang pemuda yang acuh akan hal seperti itu.
“Lalu apa yang membuat Kakek termenung di bawah hujan sederas ini?” tanyaku sembari mengusap wajah yang basah.
“Menikmati nikmat Tuhan yang mungkin tak bisa kita rasa lagi nanti.”
“Maksud Kakek?”
“Lihatlah! Renungi… Di hadapanmu hanya bagian kecil dari dampak tangan-tangan usil itu. Bayangkan, jika kerusakan-kerusakan tak dihindari. Alam tak disayang. Apakah kau yakin akan merasakan dunia lebih lama?” ujarnya menjelaskan padaku.
Mendadak lidahku kelu tak bisa bersuara sebab apa yang dikatakan Kakek itu benar adanya. Hujan terus mengguyur tubuhku, aku terpejam sejenak, merasakan tajamnya air yang jatuh dari langit. Sembari merenungkan ucapan Kakek itu. Aku menyadari bahwa hujan di rabu pagi ini menyimpan rahasia yang penuh makna.

0 komentar:

Posting Komentar