KARENA KAU RAJAWALI KU
Gadis itu memandangnya. Pria berbadan tegap yang berdiri tepat di hadapannya. Pria itu masih memegang daun pintu rumahnya yang baru saja ia buka untuk seorang gadis yang terlihat asing di matanya. Gadis yang dibukakan pintu terlihat terengah-engah di bawah guyuran hujan yang begitu derasnya.
“Richi..”, panggil gadis itu dengan senyuman lebar di bibirnya dan seberkas kelegaan di matanya. Yang dipanggil ‘Richi’ hanya terdiam menatap lekat gadis itu dengan bingung bercampur heran. Ia tidak mengenali gadis yang memanggil namanya seakan ia mengenal dirinya itu. Ia mengerutkan kening.
“Who are you?”, tanya Richi akhirnya. Cewek itu hanya bisa tertegun, senyuman yang mengembang di wajahnya kini hilang ditelan derasnya hujan. Nafasnya yang semula terengah-engah, mulai kembali menjadi hembusan normal, tapi sinar yang sebelumnya terpancar dari matanya kini meredup. Tak tau apa yang harus diperbuat, ia mencoba meyakinkan diri bahwa pria yang selama ini dirindunya di setiap hembusan nafasnya itu hanya berusaha bergurau layaknya ketika mereka masih bermain bersama dulu.
Gadis itu menegakkan tubuhnya, membiarkan hujan yang semakin deras membuatnya menggigil karena dingin air yang membasahi setiap jengkal kulitnya. “Kau bercanda?”, pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibirnya yang bergetar, “A.. Aku Arya.. Sahabat masa kecilmu!”, lanjut gadis yang mengaku bernama Arya itu dengan suara parau. Richi mengangkat alis tidak mengerti.
“Aku tidak pernah punya teman yang bernama Arya..”
—
Arya memandang Richi dari tepi lapangan basket. Memandang sahabat masa kecilnya yang kini telah tumbuh menjadi pria yang tampan dan keren. Arya berjalan dan berhenti tepat di garis terluar lapangan basket saat Richi dengan tangkas memasukkan bola basket ke dalam ring. ‘Bagaimana bisa lupa?’, tanyanya dalam hati. ‘Apakah berada di Inggris selama 5 tahun telah membuatmu lupa padaku?’, lanjutnya. Ia terus memandang Richi dengan tatapan kosong, hingga tiba-tiba sebuah bola basket melambung ke arahnya.
DUAKK!
“Aww!!”, Arya mengerang. Ia terhuyung ke belakang dan terhempas ke tanah tepat sesaat setelah sebuah bola basket berhasil mendarat di kepalanya. Richi yang merasa melempar bola itu, langsung berlari dengan kening berkerut ke tempat Arya terjatuh.
“Are you okay?”, tanya Richi singkat dan segera memungut bola basket yang tergeletak di samping Arya. Arya menyipitkan mata saat mendongak dan menatap wajah Richi yang silau karena sinar matahari dari belakang tubuhnya.
Ia melihat mata itu dengan sangat jelas. Mata dengan sorotan tajam Burung Rajawali yang selalu menatapnya jenaka disertai tawa manja dulu ketika mereka masih bermain bersama. Ia tak dapat melupakan sorotan yang pernah menemani masa kecilnya itu. Takkan pernah mampu. Namun, mata yang kini ia tatap bukanlah mata yang selalu berbinar menatapnya setiap waktu itu. Kini, mata itu tak ubahnya sorotan tajam biasa yang sama sekali bukan Richi sahabatnya kala itu.
“Hei..”, Richi melambaikan telapak tangannya di depan mata Arya yang tak bergeming memandangnya. Ia sama sekali tak tau mengapa gadis yang kemarin pagi datang ke rumahnya dengan nafas memburu dan basah kuyub karena hujan itu memandangnya dengan tatapan seperti itu. Jujur, ia tidak mengenal gadis itu sama sekali, tapi melihat wajahnya yang sedih saat itu membuat Richi merasa jengah juga.
Karena tak mendapat jawaban dari Arya, Richi hanya mengangkat alis dan mengedikkan bahunya. Ia berdiri tegak dan langsung berlari kembali ke arah lapangan basket tanpa mempedulikan Arya. Ia kembali bermain basket bersama teman-teman barunya diiringi decak kagum dari setiap anak yang melihat permainan basketnya. Ia bahkan lupa untuk membantu Arya berdiri dan Arya hanya merespon itu dengan senyuman kecil yang hampir tak nampak dari wajahnya.
“Kau memang sudah berubah.. benar-benar berbeda..”, ucapnya pelan.
—
‘Kenapa kau selalu bisa menemukanku?’
Richi terhenyak saat sebuah suara muncul tiba-tiba dalam benaknya. Ia tidak jadi melakukan lay up-nya dan hampir tersungkur ketika akan melompat, ia segera menumpukan berat badannya pada kaki kirinya. Bola basket yang baru saja ia drible segera menggelinding tak tentu arah setelah lepas dari tangannya. Richi memegang bagian belakang kepalanya yang berdenyut dengan rasa sakit yang membuatnya pusing.
Melihat keadaan Richi, teman-temannya segera menghampirinya, namun tak satu pun dari suara mereka yang berhasil terdengar oleh Richi. Richi seakan berada dalam keheningan aneh yang menyesakkan dadanya. ‘Ada apa?’, tanyanya dalam hati pada dirinya sendiri. Di tengah kesadarannya yang mulai menipis, Richi sempat menangkap bayangan Arya yang mencoba menerobos kerumunan.
Ketika tangan Arya berhasil menyentuhnya, Richi hanya bisa melihat bayangan hitam yang perlahan mengurungnya hingga kegelapan benar-benar menenggelamkannya dalam kesunyian.
‘Karena aku adalah Rajawali..’
—
Arya terdiam. Ia tak mampu mengatakan sepatah kata pun usai Mama Richi dengan gamblang menceritakan kejadian yang menimpa Richi setelah kecelakaan saat bermain bersama Arya dulu. Mama Richi mengungkap semua yang ingin diketahui oleh Arya diiringi air matanya yang tak mampu berhenti mengalir di setiap kata yang ia ucapkan.
Ia sama sekali tak tau apa yang harus dilakukannya saat ini, ia mendekat dan memeluk Mama Richi dengan lembut walaupun tubuhnya bergetar. Ia menatap kosong dinding ruang UKS dengan perasaan yang sangat kacau. Ia juga ingin sekali menangis mengetahui kenyataan bahwa dirinya telah hilang dari memori Richi karena Amnesia-nya, tapi ia tak mampu dan ia tak berani. Hatinya hancur menjadi serpihan yang tak diketahui bentuk aslinya, tanpa tau bagaimana cara menyatukannya kembali. Harus bagaimana?
—
‘Kenapa kau selalu bisa menemukanku?’ tanya Arya pada Richi yang dengan tersenyum sombong menatapnya geli. Ia tersenyum nakal menyadari kebingungan Arya.
‘Karena aku adalah Rajawali..’ jawabnya dengan wajah polos, aku adalah Rajawali yang hebat dan kuat! Mataku setajam Rajawali.. aku bisa menemukanmu dimanapun kau berada!’ ia tergelak mendapati wajah Arya yang langsung kusut begitu ia menyelesaikan kalimatnya.
‘Kau ini bodoh, ya? Kau bukan Rajawali!’ Arya menatap kesombongan Richi dengan kesal.
‘Aku Rajawali! Kau harus mengakui!’ setelah itu Richi tertawa kembali dan segera berlari sambil merentangkan kedua tangannya seperti sayap burung dan mulai mengepakkannya. Ia tertawa dengan gembira dan mengacuhkan Arya yang memandangnya dengan kening berkerut. Namun, Arya segera mengikuti gerakan Richi. Ia merentangkan kedua tangannya dan mengepakkannya layaknya seekor burung. Ia tertawa.
Tiba-tiba, Richi membelokkan arah larinya. Ia merasa bahwa Burung Rajawali pasti akan terbang lebih jauh lagi dari tempatnya berputar-putar. Ia berlari tanpa menyadari bahwa ia tengah mengarah ke sebuah jalan raya yang tepat pada saat itu, lewat sebuah motor dengan kecepatan tinggi.
Pengendara itu tak sempat mengerem laju kendaraan motornya hingga tanpa bisa dicegah lagi, ia menabrak Richi.
‘Brukkk!’ Tubuh Richi terlempar, menghempas, dan bergulingan di tanah dengan tubuh bersimbah darah. Arya berhenti berlari dan menyaksikan tubuh Richi yang diam. Pengendara itu segera memacu motornya kembali sesaat setelah ia menyadari bahwa ia baru saja menabrak tubuh seorang anak kecil. Arya tak bisa apa-apa. Ia tercekat dan hanya bisa memandang Richi dengan jantung berdegup.
‘Richi!!’
—
Arya terdiam di kamarnya. Tidak tau lagi harus bagaimana setelah Mama Richi mengungkapkan bahwa saat itu Richi menderita gegar otak yang cukup parah dan memutuskan untuk membawa Richi ke Inggris agar ia bsa mendapatkan perawatan yang maksimal serta peralatan canggih yang dapat memulihkannya dengan cepat. Namun takdir berkata lain, Richi terpaksa harus kehilangan memorinya entah untuk jangka waktu berapa lama.
Arya menyadari bahwa saat itu, ia memang tidak mau mengakui bahwa Richi memiliki penglihatan seperti Rajawali dan tidak hanya memiliki sorotan yang seperti Rajawali, tapi kini ia sadar dan ia tau bahwa Richi memang memilikinya. Mata yang selama ini selalu dirindu dan ditunggunya. Keadaan sekarang ini sangatlah berbeda dengan saat dulu ia selalu bermain bersama Richi. Kini Richi bahkan tak mengingat satu kenangan pun tentang dirinya.
Jujur, rasanya sangat sakit. Sakit sekali mengetahui dirinya telah dilupakan oleh orang yang membuatnya merasakan cinta pertamanya. Harus bagaimana?
—
Arya baru saja keluar dari perpustakaan sekolah dengan membawa beberapa buah buku di tangannya. Ia sangat bingung dengan apa yang harus diperbuatnya untuk mengalihkan perhatiannya agar ia tidak harus merasakan sakit tiap kali memikirkan soal Richi. Ia menyukai buku dan ia yakin untuk sementara waktu, ia bisa mengalihkan perhatiannya pada Richi dengan buku-buku itu.
Sudah 2 minggu sejak ia mengetahui kebenaran mengenai amnesia Richi dan ia sangat kesal karena tak mampu menemukan pengalih perhatian dari masalahnya itu. Sekarang, ia tak lagi menatap Richi dengan marah atau bahkan menuduhnya telah begitu saja melupakan dirinya hanya karena berada di Inggris selama 5 tahun seperti apa yang ia duga pada awalnya. Kini, semuanya telah menjadi sangat jelas di matanya. Ia pun tak pernah lagi mencoba untuk berbicara pada Richi seperti tak pernah mengenalnya sama sekali.
Sesungguhnya, ini adalah hal yang berat baginya tapi harus ia lakukan. Ia merindu tanpa tau, menjauh tanpa pernah menyentuh, padahal orang yang sangat ingin ditemuinya telah berada di depan mata. Ia sendiri masih tak habis pikir, mengapa teman yang selalu dinantinya kini kehilangan semua memori tentang dirinya. Ia mengerti ini semua kehendak Tuhan, tapi tetap saja ia tak bisa menerimanya. Kepada siapa ia akan meluapkan segalanya dan untuk siapa semua rasa rindunya jika bukan untuk orang yang selama ini ditunggunya?
Arya terus berperang melawan pemikirannya sendiri dan sama sekali tidak memperhatikan jalan yang dilaluinya.
Bruk!
“Ah!”, buku di tangan Arya langsung berjatuhan. Ia mengerang menyadari kelalaiannya. Segera ia selipkan rambut panjangnya di belakang telinga dan mulai berjongkok lalu memunguti buku-bukunya.
“I am sorry. Are you okay?” tanya seseorang yang langsung ikut berjongkok dan membantu memunguti buku-buku Arya tanpa diminta. Arya tertegun. Perlahan, ia mendongakkan kepala dan mendapati Richi tengah membantunya memunguti buku-bukunya. Ah, dunia ini memang sempit!, keluhnya dalam hati.
“Richi..” panggil Arya tanpa sadar. Richi mendongak dan menangkap tatapan Arya dengan alis terangkat.
Richi menghembuskan nafas pendek. “Aku tak mengenalmu, tapi mengapa sikapmu menyatakan seolah-olah kau telah mengenalku sejak lama?”, ia berhenti memungut buku.
Karena aku memang mengenalmu, jawab Arya dalam hati. Ia masih diam. Menatap lekat wajah teman masa kecil yang selalu dirindunya itu. Hanya perubahan kecil yang tampak pada fisik Richi. Rambutnya masih tetap hitam dan sorotan Rajawali yang seakan tak pernah pudar dari matanya.
Richi mengalihkan pandangan sesaat untuk menghindari tatapan Arya, “Sebentar lagi, aku akan kembali lagi ke Inggris.. jadi, maaf jika aku tak mengingatmu..”
“Kenapa kembali?”, sahut Arya cepat. Richi terdiam sejenak.
“Karena aku harus check up lagi luka di kepalaku yang akhir-akhir ini sering sakit lagi.. mungkin aku akan kembali kesini 3 tahun kedepan saat aku benar-benar telah sembuh..” Richi berdiri, meletakkan buku-buku yang ia pungut dari lantai ke dalam pelukan Arya dan segera melangkah pergi. Arya tak mampu berkata apa-apa lagi selain diam. Mengunci seribu kata yang sebenarnya ingin ia ungkapkan kepada Richi. Ia hanya membiarkan air matanya lewat di pipi tanpa berusaha untuk menahannya lagi.
—
Hari yang dikatakan Richi tiba. 2 minggu yang terasa berlalu dengan sangat cepat bagi Arya. Ia menjadi gadis yang pemurung akhir-akhir ini, sama sekali tak mau bercanda tawa bersama teman-temannya di sekolah dan hanya diam saat ditanya mengapa ia berubah. Hari ini juga, ia dan orangtuanya akan segera pergi mengantar Richi ke bandara. Ia menghela nafas sambil memandang langit yang mendung.
Ia mengamati Richi dari jendela kamarnya yang langsung menghadap tepat di depan rumah Richi. Richi sedang sibuk keluar masuk rumah untuk menyiapkan barang yang akan ia butuhkan dalam keberangkatannya menuju Inggris nanti. Arya sangat bimbang. Ia tak mau kehilangan Richi untuk kedua kalinya karena Richi rajawali-nya, tapi ia juga tak tau apa yang harus diperbuatnya untuk mencegah Richi kembali ke Inggris.
Ia menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur dengan rasa malas yang luar biasa. Ia sudah tak mau lagi membaca buku atau sibuk mengotak-atik komputer untuk mengalihkan perhatiannya dari Richi setelah ia mendengar sendiri dari Richi bahwa ia akan kembali ke Inggris dalam jangka waktu dekat. Ia bahkan sama sekali tak menyentuh buku-buku yang ia pinjam selama 2 minggu dari perpustakaan sekolah itu dan membiarkannya terbengkalai di atas meja belajarnya.
Bagaimana ia bisa dengan tenang membaca buku sedangkan orang yang selama ini ditunggunya akan berangkat lagi ke Inggris dan meninggalkannya? Walaupun Richi juga bilang bahwa ia kemungkinan akan kembali dalam 3 tahun kedepan, tapi tetap saja masih sulit baginya untuk dengan mudah melepaskan Richi begitu saja. Apa yang harus dilakukannya?
Arya mengacak rambut dan menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Ia tidak lagi mampu berpikir dengan jernih di sela waktu yang tinggal sedikit ini.
“Arya! Ayo kita segera berangkat juga mengantar Richi!”, teriak Mama Arya dari depan pintu kamarnya. Ia menggelengkan kepala dan segera bangkit dari tempat tidurnya dengan kalut.
—
‘Kenapa kau selalu bisa menemukanku?’
Richi mengernyit kesakitan saat kepalanya yang terluka berdenyut nyeri. Lagi. Suara yang akhir-akhir ini selalu berputar di otaknya terngiang lagi di telinganya. ‘Suara siapa itu?’ ia terus bertanya entah kepada siapa tanpa mampu menemukan jawaban yang diinginkannya. Ia mencoba menyembunyikan raut wajahnya yang kesakitan dari orangtuanya dengan mengalihkan wajahnya pada sisi lain mobil ketika mobil terus berjalan menuju bandara.
Bayangan Arya juga perlahan mulai memenuhi otaknya, wajah sedih Arya sama sekali tak mampu ditepisnya tiap kali ia mendapati Arya tengah memandangnya dari jauh. Ia tidak ingat. Ia tidak ingat kapan ia pernah bertemu dengan Arya sehingga Arya bisa begitu mengenalnya sedangkan ia tidak. Bagaimana mengatakannya? Richi memegang kepalanya yang semakin terasa pusing jika ia berusaha memaksakan diri untuk mengingat Arya. Ia masih tidak berhasil mengorek apapun tentang Arya dari ingatannya. Yang ia tau, saat masih kecil ia sudah terbangun di sebuah rumah sakit dan mendapati 2 orang yang mengaku sebagai mama dan papanya berdiri di sampingnya dengan wajah cemas.
Setelah itu, ia mulai berlajar memanggil kedua orang yang tak dikenalnya itu dengan sebutan mama dan papa. Satu hal yang ia masih mengingat dengan sangat jelas. Bahasa Indonesia. Ia sendiri tak tau bagaimana bisa ia berbicara menggunakan Bahasa Indonesia dengan sangat lancar padahal ia tinggal di Inggris.
Richi melamun sepanjang perjalanan hingga sebuah suara membuyarkan lamunannya.
“Arya! Arya! Arya!”, Mama Arya terlihat sangat bingung mencari keberadaan Arya yang langsung menghilang begitu mereka sampai di tempat pengecekan paspor dan koper oleh petugas bandara. “Aduh, Arya ‘kan tidak hafal jalan di bandara ini! Dia kemana, sih?” tanya Mama Arya pada dirinya sendiri sambil terus melihat lalu lalang di sekitarnya.
“Ada apa, tante?”, tanya Richi segera setelah menangkap hal yang tidak beres.
“Arya.. ia tidak ada dimanapun padahal ia masih terus bersama tante hingga sampai disini! Begitu tante memandang ke arah lain, ia sudah tidak ada di dekat tante!”, jawab Mama Richi dengan wajah bingung bercampur khawatir.
Richi mengerutkan kening dan berpikir sejenak, “Biar saya cari, tante!”, usul Richi yang tanpa disuruh, segera pergi meninggalkan orangtuanya dan orangtua Arya yang hanya memandangnya dengan wajah penuh harap. Richi berjalan tak tentu arah, ia sendiri juga bingung harus mencari Arya kemana. Ia mulai berhenti berjalan di tengah kerumunan orang yang melewatinya dan sesekali menabraknya secara tidak sengaja.
“Aku harus mencari kemana?” tanyanya pada diri sendiri. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri berharap dapat menemukan sosok Arya di tengah kerumunan itu. Tapi, ia tak jua menemukan Arya. Ia mulai gelisah. Ia melangkah lagi dan melihat ke depan tepat saat ia melihat Arya tengah berdiri menghadap kaca jendela bandara yang mengarah ke landasan pesawat. Richi segera berlari menerobos kerumunan dan berdiri tepat di belakang Arya.
Arya tersentak saat ia merasakan sebuah tangan menyentuh bahunya. Ia menoleh dan lebih terkejut lagi saat mendapati Richilah yang baru saja menyentuh bahunya. Arya tersenyum kecil sambil menggeleng.
“Mamamu mencarimu..”, kata Richi melihat reaksi Arya yang hanya diam saja melihatnya.
“Kenapa kau selalu bisa menemukanku?”, Richi tersentak. Ia mundur dengan perlahan dan menatap Arya tak percaya. Kalimat yang selama ini selalu terngiang di telinganya baru saja ia dengar dari bibir Arya. Richi memegang kembali kepalanya yang terasa sangat sakit. Ia mengerutkan kening semampunya untuk mengurangi rasa sakit yang kini membuatnya merasa pusing.
Arya yang melihat itu hanya mampu memandang Richi dengan wajah heran tapi, Arya tau bahwa itu adalah efek dari kalimat yang baru saja ia ucapkan pada Richi. Kalimat yang pernah ia ucapkan dulu padanya. “Ternyata,..” kata Arya lagi dan berbalik menghadap Richi, “Tidak semuanya benar-benar hilang dari ingatanmu..”
Samar-samar, Richi melihat bayangan seorang gadis kecil yang menatapnya dengan wajah heran sambil mengucapkan sesuatu yang tidak ia tahu. Ia mengigit bibir karena merasakan nyeri yang semakin menjalar ke seluruh sarafnya, terutama luka di kepalanya dulu. Arya mulai khawatir dan memutuskan untuk menyudahi pembicaraan yang mungkin bisa membuat Richi semakin merasa tersiksa dengan rasa sakit yang menyelubungi kepalanya.
“Ayo kita kembali..”, ajak Arya. Ia berjalan ke arah Richi dan menggandeng tangannya tanpa meminta persetujuan dari Richi. Tangan Richi menegang. Tubuhnya tak begitu saja menurut saat Arya dengan lembut menariknya pergi. Ia tetap diam di tempatnya semula berdiri. Arya segera menoleh dan mendapati Richi memandangnya dengan sorotan tajam. “Kenapa?”, tanya Arya pelan.
Richi hanya terdiam sambil meredam sakit di kepalanya dengan perlahan menghapus apa yang ingin ia paksakan untuk mengingatnya. Karena tak mendapat jawaban, Arya hanya menelengkan kepala dan mulai menarik tangan Richi lagi dengan agak keras agar Richi mau beranjak dari tempatnya sebelum ia ketinggalan pesawat, tapi Richi sama sekali tak bergerak dan malah membiarkan Arya menariknya tanpa arti.
“Ayolah.. kau kan Rajawali.. kau bilang kau Rajawali.. dan kau memang Rajawali..” Arya mengucapkan kata terakhirnya dengan agak pelan agar Richi tak mendengarnya.
“Jika..”, Richi tiba-tiba bersuara dan membuat Arya berhenti menariknya. Ia memandang Richi. “Jika kau memang bagian dari masa laluku,” lanjutnya, ”Maukah kau menungguku? Hingga aku dapatkan kembali semua memori tentang dirimu yang tersembunyi dalam otakku? Hingga tiba waktuku untuk kembali padamu, bisakah aku bersamamu? Mampukah kau menantiku hingga kudapatkan kembali kenangan tentang diriku bersamamu? Jika aku Rajawalimu.. bisakah kau bersabar untuk itu?”, Arya termenung beberapa saat merasakan arti dari barisan pertanyaan yang dilontarkan oleh Richi. Ia kaget ketika menyadari sinar di mata Richi yang dulu selalu menemaninya kini kembali mengusiknya.
Jantung Arya berdetak dengan cepat. Ia menutup matanya dan menggenggam erat tangan Richi.
—
Arya melambai kearah pesawat Richi yang baru saja lepas landas dari bandara. Air matanya mengalir dengan deras, tapi sebuah senyuman terkembang indah di wajahnya. Ia memutuskan untuk membiarkan Richi pergi, hanya untuk sementara waktu agar Richi mengingatnya, kenangan bersamanya.
—
Ia sama sekali tak tau apa yang harus ia katakan untuk menjawab rentetan pertanyaan Richi dan memutuskan untuk membawa Richi berlari sebelum ia benar-benar tertinggal oleh pesawat dan membuat orangtua mereka berdua cemas.
Ia tau ini yang terbaik bagi Richi. Ia mengerti saat ia menggenggam erat tangan Richi. Richi membutuhkan perawatan agar ia kembali mengingatnya. Mengingat kenangan mereka. Di saat ia berlari dan menarik Richi, ia memutuskan untuk menjawab sebelum Richi pergi darinya untuk kedua kali.
“Ya, aku akan menunggumu.. walau itu akan menghabiskan waktuku, aku akan tetap menantimu.. aku telah menunggumu selama 5 tahun dan kurasa aku masih bisa menunggumu lagi selama 3 tahun, atau selama apapun yang kau minta.. hingga tiba saatnya kau mengingatku, mengingat masa lalumu bersamaku.. aku akan menantimu dan takkan pernah ragu, karena kau Rajawaliku..” ucap Arya tanpa memandang ke arah Richi yang berlari di belakangnya.
Richi hanya memandang Arya yang berlari sambil menyeretnya itu dengan mata bersinar. Ia ingin mengingatnya. Mengingat gadis yang ada di depannya itu, mengingat segala tentangnya .. tentang perasaan berdebar yang kini dirasakannya kini tiap kali memandang Arya. Richi enggan mengakuinya, tapi gadis ini telah mampu menggerakkan hatinya dan memberinya semangat untuk sembuh dari lukanya. Arya akan menunggunya.
0 komentar:
Posting Komentar