PENDANT OF MEMORIES
“Kalau jadinya akan seperti ini.. daun gugur pun takkan kubiarkan menyentuh tanah..”
—
Langit tampak mendung. Salju un tidak turun sama sekali. Dan lelaki
ini. Lelaki yang sedari tadi diam mematung di depan jendela ruangan
kecil bernuansa perkantoran. Pandangannya kosong. Pikirannya sibuk
berkutat dengan memori-memori yang terlintas di benaknya.
Flashback, Yokohama, 24 Desember, 20 tahun lalu
“Ibu.. ibu dimana?” pekik anak lelaki itu setengah menangis. Sambil memeluk boneka beruang yang sedari tadi dibawanya, anak laki-laki itu berteriak memanggil eommanya sambil masih kebingungan di tengah sibuknya pusat perbelanjaan terbesar di Yokohama.
“Ibu.. ibu dimana?” pekik anak lelaki itu setengah menangis. Sambil memeluk boneka beruang yang sedari tadi dibawanya, anak laki-laki itu berteriak memanggil eommanya sambil masih kebingungan di tengah sibuknya pusat perbelanjaan terbesar di Yokohama.
“Hai..” suara seorang gadis kecil membuat anak lelaki itu berbalik,
menoleh ke sumber suara. Anak lelaki itu mendapati seorang gadis kecil
tengah tersenyum padanya. “Kau tersesat ya?” tanya gadis kecil itu. Anak
lelaki itu mengangguk ragu. Sedetik kemudian, tangannya sudah ditarik
gadis kecil itu menuju ke sebuah toko ornamen natal, menemui seorang
wanita yang sepertinya adalah eomma dari gadis itu. Wanita itu tersenyum
kemudian membelai lembut kepala anak lelaki itu. “Ah kau sedang mencari
ibumu? Aku jamin ia pasti ke sini sebentar lagi..” kata wanita itu
lemah lembut.
“Seungjin!” panggil seorang wanita. Seungjin berbalik dan mendapati
ibunya membawa beberapa paper bag besar. Ia tersenyum senang dan
langsung memeluk ibunya. “Ah.. Jinah.. tak kusangka kita akan bertemu di
Yokohama. Apa kabarmu?” ibunya menyapa ibu dari gadis itu. “Astaga
Minyoung.. aku nyaris tak mengenalimu.. kau bertambah cantik saja..
hahah.. aku baik.. kau sendiri?” Wanita bernama Minyoung itu memeluk
Jinah sebelum Jinah menjawab pertanyaannya. Reuni teman lama semasa
bangku sekolah menengah atas.
“Kau juga bertambah cantik, Minyoung.. haha.. wah sekarang Sunmi
sudah besar ya..” Jinah tersenyum pada Sunmi. Sunmi balas tersenyum.
“Iya.. waktu memang bergulir cepat.. dulu juga saat aku ke rumahmu,
kau masih menimang-nimang Seungjin.. sekarang ia sudah tumbuh besar..”
Minyoung membelai lembut kepala Seungjin.
“Sepertinya aku harus pulang sekarang.. aku sudah ditunggu Kak
Hyojin.. aku pulang dulu ya, Jinah.. sampai nanti.. Seungjin, katakan
terima kasih pada tante Minyoung..” kata Jinah diakhiri dengan membelai
kepala Seungjin.
“Gamsahamnida tante Minyoung.. gomawoyo Sunmi..” ucap Seungjin
malu-malu. Dibalas senyuman oleh Sunmi. Setelah saling melambaikan
tangan tanda berpisah, mereka berjalan ke arah yang berbeda.
“Seungjin-ssi!” suara Sunmi terdengar lagi. Gadis itu lari
tergopoh-gopoh menghampiri Seungjin. Gadis itu menggenggam tangan
Seungjin, membuka telapak tangannya, dan menaruh sebuah benda kecil.
Liontin beberntuk snowflake.
“Simpan baik-baik ya.. ini kenang-kenangan dariku..” kata Sunmi
tersenyum manis kemudian berlari ke arah eommanya. Seungjin menatap
liontin itu sejenak, kemudian menggangguk semangat dengan senyum
innocent terulas di wajahnya.
—
Seungjin tersenyum. Sadar bahwa liontin snowflake itu kini tergantung
apik di sudut ponselnya. Ia mengalihkan pandangannya. Melihat sebuah
kotak dengan gembok berkarat dengan kunci yang tergantung di sana.
Gantungan kunci itu. Mengingatkannya pada sesuatu..
Flashback, Seoul, 2 Februari, 8 tahun lalu
Seungjin tengah menikmati waktu senggangnya di sebuah cafe berkonsep klasik. Sambil membaca surat kabar yang sedari tadi digenggamnya, sesekali ia menyesap americano latte dalam cangkir putih yang ia pesan. Diliriknya jam tangan hitam yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Ia mendengus pelan kemudian melipat surat kabar yang dia bawa menjadi empat lipatan. Menenggak habis americano yang dipesannya, kemudian berjalan terburu-buru keluar.
Seungjin tengah menikmati waktu senggangnya di sebuah cafe berkonsep klasik. Sambil membaca surat kabar yang sedari tadi digenggamnya, sesekali ia menyesap americano latte dalam cangkir putih yang ia pesan. Diliriknya jam tangan hitam yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Ia mendengus pelan kemudian melipat surat kabar yang dia bawa menjadi empat lipatan. Menenggak habis americano yang dipesannya, kemudian berjalan terburu-buru keluar.
BRUKK
Ia menabrak seorang yeoja. Membuat dompet yang sedang dipegang yeoja
itu terjatuh. Seungjin mengambil dompet itu dan menyerahkannya pada
yeoja itu seraya membungkuk. “Maaf.. maafkan saya.. saya tidak-” kalimat
Seungjin terhenti ketika sadar siapa yeoja yang ia tabrak tadi.
“Sunmi..” kata Seungjin dengan nada sedikit bertanya. “Seungjin?” Sunmi
balas bertanya. Keduanya terdiam. Sesaat kemudian, tawa meledak di
antara mereka.
“Apa kabar Seungjin? Sudah 12 tahun kita tak bertemu..” kata Sunmi tersenyum.
“Baik sekali.. kau sendiri Sunmi? Masih tinggal di Yokohama?” tanya Seungjin ramah.
“Baik.. Aku sudah pindah ke Seoul sejak 2 tahun lalu.. heheh.. kau.. manager?” tanya Sunmi kagum.
“Sebenarnya aku harus meneruskan bisnis ayah, jadi.. ya aku wakil
manager..” jawab Seungjin melirik jam tangannya. 5 menit lagi meeting
akan dimulai.
“Kau terburu-buru ya? Pergilah.. nanti kita bercakap-cakap lagi.” kata Sunmi ramah.
“Ah iya maaf tak bisa lama-lama.. selamat tinggal..” kata Seungjin.
Kakinya menginjak sesuatu. Ia membungkuk mengambil benda kecil itu.
Sebuah liontin berbentuk pita. Seungjin memanggil Sunmi. Memberitahu
bahwa ia baru saja menjatuhkan sesuatu. Sunmi hanya tersenyum dan balas
berteriak, “Simpan saja.. Anggap itu kenang-kenangan dariku..”
—
Seungjin duduk di meja kerjanya dengan wajah kusut. Semakin ia
melihat liontin-liontin itu, memorinya terus berputar ke belakang. Satu
sosok yang selalu memenuhi benaknya. Kwon Sun Mi. Yeoja itu selalu
berlalu lalang dalam ingatannya. Ia melihat sebuah dokumen yang sedari
tadi tergeletak di atas meja. Ia terlalu banyak melakukan flashback
hingga lupa bahwa ada dokumen yang membutuhkan tanda tangannya di bawah
tulisan ‘Wakil Manager’. Tangan kanan Seungjin memutar kunci laci
kerjanya yang berasa di samping meja kerja dari kayu oak miliknya. Ia
memegang sesuatu yang tergantung. Matanya melirik ke arah benda itu.
Flashback, Seoul, 4 Maret, 8 tahun lalu
Setelah saling bertukar alamat, Seungjin sering berkunjung ke apartemen Sunmi, begitu sebaliknya. Seperti halnya pagi itu, ia mengetuk pintu apartemen gadis berambut ikal coklat itu. Menunggu sang tuan rumah membukakannya. Pintu itu terbuka, sang pemilik apartemen menyembulkan kepalanya di balik pintu kemudian tersenyum. “Masuklah Seungjin..” Sunmi membukakan pintu lebih lebar.
Setelah saling bertukar alamat, Seungjin sering berkunjung ke apartemen Sunmi, begitu sebaliknya. Seperti halnya pagi itu, ia mengetuk pintu apartemen gadis berambut ikal coklat itu. Menunggu sang tuan rumah membukakannya. Pintu itu terbuka, sang pemilik apartemen menyembulkan kepalanya di balik pintu kemudian tersenyum. “Masuklah Seungjin..” Sunmi membukakan pintu lebih lebar.
“Ya! Kwon Sun Mi! Kau mau membunuhku?” pekik Seungjin melihat tangan
kanan Sunmi yang tengah menggenggam gunting. Sunmi melihat ke arah
tangan kanannya.
“Shin Seung Jin! Aku tak mungkin membunuhmu babo! Aku sedang membuat
layang-layang berbentuk Cicada* .. bantulah aku, kumohon..” kata Sunmi
duduk di depan meja yang penuh dengan barang-barang prakarya. Kertas,
lem, manik-manik, botol cat, semuanya berserakan di sekitar meja.
“Eh? Layang-layang Cicada? Untuk apa?” tanya Seungjin mulai membantu Sunmi menggunting pola yang sudah dibuat Sunmi.
“Aku akan mengikuti ‘Tokyo in Seoul Summer Festival’ siang ini di Sea
Shell Exhibition Center. Di sana ada lomba membuat hasil karya dengan
tema musim panas. Kupikir karena datangnya musim panas ditandai dengan
suara Cicada yang mulai terdengar, jadi kubuat saja layang-layang
berbentuk Cicada..” jelas Sunmi panjang lebar.
“Oh? Lalu bagaimana kalau ada yang menjiplak hasil karyamu?” tanya
Seungjin menempelkan pola tersebut ke rangka layang-layang yang dibuat
Sunmi.
“Aku sudah punya cadangan..” Sunmi yang tampak serius menggunting
detail-detail penting dari layang-layangnya, menunjuk ke arah benda yang
ia maksud dengan gunting, kemudian melanjutkan aktivitasnya lagi.
Seungjin menoleh ke arah yang ditunjukkan Sunmi. Sebuah lampion dengan
bentuk serangga Aburazemi ** tergantung apik di ujung bingkai jendela
apartemen Sunmi.
“Serangga lagi.. mereka punya sifat yang nyaris sama kan? Mengapa
tidak cari bentuk lain saja?” usul Seungjin kembali berkutat dengan
layang-layang Cicada.
“Aku hanya ingin mencoba hal yang berbeda. Jarang sekali ada orang
yang memperhatikan hal-hal kecil seperti serangga. Semua orang hanya
memperhatikan hal-hal yang umum..” jawab Sunmi menempelkan pita dan
beberapa kertas yang ia potong panjang. “Nah selesai.. ayo kita ke Sea
Shell Exhibition Center sekarang sebelum berdesak-desakan..” Sunmi
membawa layang-layang itu dengan sangat hati-hati.
Seungjin tersenyum. Sunmi yang ia kenal memang tak pernah berubah.
Masih Sunmi yang teliti. Sunmi yang kreatif. Sunmi yang ia kenal sebagai
Kwon Sun Mi yang punya tempat khusus di hatinya. Sunmi yang ia kenal
sebagai sahabat baik sekaligus teman masa kecilnya.
“Ya! Seungjin! Apa yang kau lakukan di sana? Cepatlah!” teriak Sunmi
yang ternyata sudah berada di luar apartemennya. Setelah mengunci pintu
apartemennya, Sunmi dan Seungjin bergerak menuju Sea Shell Exihibition
Center.
Sesampainya di lokasi, Seungjin membiarkan Sunmi masuk sementara ia
menunggu di luar gedung karena terlalu banyak orang. Ia mengeluarkan
sebuah buku dan mulai membacanya. Sesekali ia melirik ke jam tangannya.
Ia kembali serius membaca buku sampai..
“Kyaaa.. Seungjin!! Aku menaaangg” teriak Sunmi menghambur ke arah
Seungjin. Memeluknya secara refleks. Seungjin hanya memasang wajah
datar. Ia tak dapat berkata apa-apa setelah pelukan Sunmi melayang ke
tubuhnya. Walau hanya sepersekian detik, namun pelukan itu membuat ia
terdiam. “Chukkaeyo, Sunmi..” kata Seungjin masih berusaha mengendalikan
dirinya sendiri. “Ini untukmu..” Sunmi menyerahkan sesuatu pada
Seungjin.
Sebuah liontin gunting.
“Penghargaan untuk seseorang yang sangat berjasa membuat aku berhasil
menang. Simpan ya.. sebagai kenang-kenangan..” kata Sunmi tersenyum
manis. Seungjin balas tersenyum dan memeluk Sunmi. Pelukan yang jauh
lebih hangat dan lama.
—
Seungjin memukul meja kerjanya frustasi. Ia lelah terjebak dalam
ruang nostalgia bersama Sunmi. Setelah menandatangani dokumen yang ada
di mejanya, ia bergegas keluar ruangan. Membawa sebuah tas kecil. Folder
dokumen itu ia serahkan pada sekertarisnya. Ia berlari menuju kendaraan
metalik merahnya. Menyalakan mesin kendaraan itu kemudian membiarkan
kendaraan itu bergerak diiringi suara deruan mesin. Matanya tak sengaja
melirik gantungan kunci pada tas kecil yang dibawanya.
Flashback, Jeju Island, 6 Januari, 6 tahun lalu
Mentari menyambut Seungjin untuk mengawali aktivitasnya. Ia tidak sedang berada di Seoul. Kali ini ia berada di Jeju Island. Pekerjaan sampingannya adalah sebagai seorang fotografer. Ia sudah terkenal sebagai fotografer terkenal. Namanya tersohor ke seluruh Korea. Setelah membuka kedua matanya dari tidur panjang semalam, ia melangkahkan kakinya turun dari tempat tidur dan membuka jendela kamarnya. Udara Jeju yang masih segar menyeruak masuk ke kamar itu. menambah kesan sejuk pada kamar itu. Ponselnya berdering. Ia meraih ponselnya kemudian melihat layar benda mati itu. Ternyata ada sebuah pesan yang masuk.
Mentari menyambut Seungjin untuk mengawali aktivitasnya. Ia tidak sedang berada di Seoul. Kali ini ia berada di Jeju Island. Pekerjaan sampingannya adalah sebagai seorang fotografer. Ia sudah terkenal sebagai fotografer terkenal. Namanya tersohor ke seluruh Korea. Setelah membuka kedua matanya dari tidur panjang semalam, ia melangkahkan kakinya turun dari tempat tidur dan membuka jendela kamarnya. Udara Jeju yang masih segar menyeruak masuk ke kamar itu. menambah kesan sejuk pada kamar itu. Ponselnya berdering. Ia meraih ponselnya kemudian melihat layar benda mati itu. Ternyata ada sebuah pesan yang masuk.
To: Shin Seung Jin
From: Kwon Sun Mi
Ohayou (selamat pagi dalam bahasa Jepang)! Ireona (bangun) usagi***!! Kakakku mencarimu. Katanya kau harus sarapan bersama kami! Cepatlah! :p
From: Kwon Sun Mi
Ohayou (selamat pagi dalam bahasa Jepang)! Ireona (bangun) usagi***!! Kakakku mencarimu. Katanya kau harus sarapan bersama kami! Cepatlah! :p
To: Kwon Sun Mi
From: Shin Seung Jin
Ne.. aku akan segera menyusul. Kau ini yeoja tapi caramu membangunkanku seperti debt collector. -_-
From: Shin Seung Jin
Ne.. aku akan segera menyusul. Kau ini yeoja tapi caramu membangunkanku seperti debt collector. -_-
Yumi. Kwon Yu Mi. Kakak dari Sunmi adalah alasan mengapa ia ada di
Jeju sekarang. Yumi dan calon suaminya sedang membuat film pendek
sekaligus iklan untuk produk perusahaan mereka, Spectaclular Corp.
Setelah meraih tas kecil hitam berisi kamera, ia melangkah menuruni
tangga menuju ke kafeteria hotel. Ia membungkuk ramah begitu melihat
Yumi dan calon suaminya. Mereka makan dalam sunyi.
Acara makan bersama itu pun berakhir. Seungjin melanjutkan tugasnya
sebagai fotografer. Selepas mengerjakan tugasnya, benar-benar selesai,
ia duduk di atas sebuah batu karang di tepi pantai. Mengambil beberapa
panorama luar biasa di pantai Pulau Jeju. “Seungjin-ssi..” suara
seseorang menghentikan hobinya itu. Kwon Yu Mi berdiri di belakangnya
sambil tersenyum. Menampakkan dimples yang membuat wajahnya terlihat
manis.
“Oh noona..” Seungjin membungkuk sopan.
“Seungjin-ssi, aku mengucapkan banyak terima kasih atas kerja
samanya. Aku harap kita bisa berkerja sama lagi lain kali. Sebagai tanda
terima kasihku, kuharap kau mau menerima ini..” Yumi menyodorkan sebuah
kotak kecil. Seungjin menerimanya dengan ragu.
“Gamsahamnida noona.. tapi sebenarnya ini tak perl-”. “Kata Sunmi,
kau suka mengoleksi gantungan kunci. Nah aku harap itu bisa menambah
koleksimu..” Yumi tersenyum lagi. “Simpanlah baik-baik kata Sunmi..”
tambahnya kemudian pergi.
—
DIIIINNN..
Suara klakson mobil terdengar begitu keras hingga membuat Seungjin
terkesiap. Ia menghentikan laju mobilnya. Sial. Ia flashback lagi. “Kwon
Sun Mi, kau dimana? Kau membuatku nyaris gila dan nyaris mati
kecelakaan hanya karena memikirkanmu..” kata Seungjin pelan. Ia melirik
ponselnya. Melihat tanggal. Tanggal 23 Desember. Matanya terbelalak
ketika mengingat tanggal hari ini. Ia segera tancap gas menuju Incheon
International Airport. Tak peduli kecepatan kendaraannya sudah nyaris
mencapai angka maksimum. Ia hanya ingin cepat sampai. Ia ingin cepat
bertemu dengan Sunmi. Yeojanya. Yeoja yang telah mengambil alih fungsi
otaknya.
Flashback, Incheon International Airport, 23 Desember, 5 tahun lalu
“Apa kau harus benar-benar pergi, Sunmi?” tanya Seungjin sedih. Ia
menggenggam lembut tangan Sunmi yang sekarang sedang menunggu jam
terbang pesawatnya.
“Ne.. Aku harus.. Aku harus menyusul kakakku ke Paris.. Aku harus
meneruskan karirnya sebagai seorang model..” jawab Sunmi pelan.
“Tapi.. tak bisakah kau diam dan menetap di sini? Tetap di sini..
de..demi aku?” tanya Seungjin berterus terang. Direspon oleh mata Sunmi
yang membulat sempurna. Seungjin menggenggam kedua tangan Sunmi dengan
lembut. “Saranghaeyo Kwon Sun Mi.. Aku mencintaimu sejak dahulu. Sejak
pertma kali kita bertemu setelah 12 tahun terpisah.. maukah kau menjadi
yeoja chinguku?” tanya Seungjin sambil menatap lurus manik obsidian
milik Sunmi. Sunmi hanya mengulum senyum.
“Kalau kau benar mencintaiku, tunggulah hingga aku pulang.. 5 tahun
lagi aku akan kembali..” ucap Sunmi pelan tapi pasti. Ia melepas
genggaman Seungjin.
“Sunmi-” . “Kalau kau memang benar mencintaiku, tunggulah hingga aku
pulang. Cinta sejati itu takkan pernah lelah menunggu bukan? Karena
cinta sejati tak pernah lekang oleh waktu..” Sunmi tersenyum optimis. Ia
merogoh sakunya. Meraih tangan kanan Seungjin dan menaruh sebuah kalung
dengan liontin kunci. Seungjin menatap Sunmi tidak mengerti.
“Kunci ini.. adalah jaminan kalau aku akan kembali. Aku juga punya satu..” Sunmi menunjukkan kalung yang ia pakai. Liontin yang sama persis. Sunmi melirik jam tangannya. Sudah waktunya ia pergi. “Aku pergi ya, Seungjin.. annyeong, sampai bertemu 5 tahun lagi..” pamit Sunmi yang disusul dengan semakin menjauhnya punggung yeoja itu dari pandangan Seungjin.
“Kunci ini.. adalah jaminan kalau aku akan kembali. Aku juga punya satu..” Sunmi menunjukkan kalung yang ia pakai. Liontin yang sama persis. Sunmi melirik jam tangannya. Sudah waktunya ia pergi. “Aku pergi ya, Seungjin.. annyeong, sampai bertemu 5 tahun lagi..” pamit Sunmi yang disusul dengan semakin menjauhnya punggung yeoja itu dari pandangan Seungjin.
—
Tanpa menunggu lama, setelah kendaraannya terparkir sesuai posisinya.
Seungjin berlari menuju lobi airport sambil menggenggam erat liontin
kunci yang tergantung di kalungnya.
“Cinta sejati itu takkan pernah lelah menunggu.. karena cinta sejati tak pernah lekang oleh waktu..”
Kata-kata Sunmi bergema di benaknya. Ia sampai di ruang tunggu dekat
gerbang kedatangan. Ia duduk menunggu di atas kursi biru cerah yang
terpajang di sana. Sunmi adalah orang yang tepat waktu. Seungjin tahu
itu. Perhatiannya hanya fokus pada kapan Sunmi akan kembali. Sampai..
“Pesawat Paris Airlines yang seharusnya sampai di Bandara Incheon
hari ini tepat pukul 15.00, dikabarkan baru saja jatuh. Pesawat meledak
di udara dan bangkainya masih terapung di Samudra Hindia dekat negara
Oman. Dipastikan seluruh awak kapal dan penumpang tewas dalam kecelakaan
ini..”
Seungjin terdiam. Paris. Kecelakaan. Tewas. Tiga kata itu sulit
dicerna di benak Seungjin. Seketika langit seperti runtuh menimpa
Seungjin. Dadanya sesak. Ia ingin berteriak. Ia berlari menuju ke
mobilnya. Memukul kemudinya dengan kasar. Sebutir air mata mulai
menuruni wajahnya. “Ya.. kau benar Sunmi..Cinta sejati memang tak lekang
oleh waktu. Tapi manusia juga tak bisa melawan waktu.. mereka punya
batas waktu untuk menunggu cinta itu.. dan.. dan waktuku.. sudah..
terbuang begitu saja..” ujar Seungjin setengah berteriak. Menangis
memang takkan bisa mengubah keadaan namun setidaknya air mata yang
mengalir bisa sedikit menyalurkan perasaan sedih yang menggeluti hati
dan batinnya.
Keeseokan harinya, di sinilah Seungjin berdiri. Di puncak bukit.
Ditemani sebatang pohon yang peran daun-daun hijaunya sudah digantikan
salju. Sebuah benda tepat berada di bawah pohon itu. Seungjin menatap
nanar benda keras itu. Air mata mulai menuruni wajahnya lagi. Ia
menyentuh benda itu. Dingin. Sedingin hatinya sekarang. Ia tertunduk dan
mulai terisak. Mengaharapkan waktu bisa diputar balik.
“Aku tak tahu kalau kau merasa kehilangan yang sangat.. sama
sepertiku..” suara seorang yeoja membuat isakannya terhenti. Yeoja itu
berlutut di depan benda kecil itu, menaruh seikat bunga, dan duduk di
sebelah Seungjin.
“Sunmi.. itu sungguh kau?” Seungjin bertanya dengan nada ragu.
“Ya, Seungjin.. ini aku..” Sunmi tersenyum lembut. Seungjin memeluk
Sunmi dengan erat. Menangis dalam pelukannya. Sunmi tersenyum dan bulir
bening itu turut menuruni lekuk wajahnya.
“Sunmi.. Aku benar-benar merindukanmu..” Seungjin melirik benda
dingin yang sedari tadi menguras air matanya. Ia menyingkirkan salju
yang menutupi benda batu itu. Pusara itu.. bertuliskan nama ‘Kwon Yu
Mi’.
“Miris sekali.. seharusnya aku bisa menghentikan Yumi eonni untuk
pergi hari itu. Tapi sayangnya aku tak bisa. Kalau tahu jadinya akan
seperti ini, bahkan daun gugur pun takkan kubiarkan menyentuh tanah..
apapun caranya. Sama seperti aku menghentikan Yumi eonni untuk pergi..
apapun caranya..” Sunmi berterus terang sambil mengusap sisa salju yang
terdapat di atas pusara itu.
“Sunmi.. gomawoyo.. terima kasih sudah kembali dan menepati janjimu..
kau kembali.. tapi Yumi noona dan Jinyoung oppa tidak.. sungguh tak
adil..” Seungjin menatap Sunmi dengan lembut.
“Seungjin-ah.. aku mau.. menjadi yeoja chingumu.. terima kasih sudah
menungguku kembali..” Sunmi tersenyum dan memeluk Seungjin. Seungjin
tersenyum. Tiap butir salju yang jatuh menjadi saksi atas cinta mereka.
Cinta mereka yang sejati.
THE END
0 komentar:
Posting Komentar